Minggu, 11 Oktober 2015

THE PRINCE VS THE DEVIL PART. 2

“kau tidak boleh seperti itu. Dia kan seorang gadis, dan tujuannya baik untuk menertibkan sekolah” Jinhwan membuka mulut ketika akhirnya ia dan Baekhyun kembali ke ruangan kelas. Baekhyun membuat gerakan mengejek dan menunjukkan bahwa dirinya sama sekali tidak berminat mendengar ceramahan Jinhwan.

“Baek.... aku bicara padamu” ucap Jinhwan sembari menghela nafas kasar.

“Baekhyun! Byun! Namamu kan?” sebuah teriakan bernada rendah dan berat terdengar dari arah pintu. Dari sana berlarian dua orang, satu orang bertelinga lancip dan berbadan besar serta tinggi, sementara satu orang lainnya bertinggi sedang, berambut putih dengan wajah seperti bayi.

Baekhyun menoleh dan tersenyum “benar sekali. Dan apa gerangan kau memanggilku, Chanyeol?” tanya Baekhyun yang kini telah melompat melewati Jinhwan dan berdiri didepan kedua orang itu, yang salah satunya dikenalinya sebagai Chanyeol, salah seorang siswa yang tadi ditegur oleh Irene di koridor sekolah.

“Namaku Hoshi!” ucap si muka bayi yang kini telah berjongkok diatas meja Tiffany dan menjulurkan tangannya ke Baekhyun, diikuti cengiran barisan gigi putihnya. Baekhyun menyambut tangan itu dengan gembira. Mereka bersalaman lama sekali, saling mengguncang tangan satu sama lain, menggaruk dan memelintir. Jinhwan mengernyitkan dahi melihat ini.

“Byun. Kupikir kau harus ikut geng kami!” seru Hoshi yang kini telah melepaskan tautan tangannya pada tangan Baekhyun.

“ya bung! Benar-benar harus. Kita harus membuat sekolah ini membantah peraturan-peraturan konyol itu.” Tambah Chanyeol bersemangat.

Baekhyun menyeringai, ia merangkul bahu kedua teman barunya dan berbisik “itu bisa diatur. Baiklah, mari kita pikirkan rencana pertama” ia menaik-turunkan alisnya. Tak lama mereka bertiga telah melenggang keluar kelas, masih dengan posisi Baekhyun ditengah merangkul bahu Chanyeol dan Hoshi, dengan bernyanyi riang, nyanyian yang memekikkan telinga serta menabrak siapapun yang menghalangi jalan mereka, meninggalkan Jinhwan yang menatap kepergian mereka dengan pandangan yang sulit diartikan.

“Jinhwan.... err...” suara yang merdu memecah lamunan Jinhwan tentang sesuatu hal.

“eh? Iya Irene? Ada apa? Ada yang bisa kubantu?” Ucap Jinhwan yang segera berdiri dan menghampiri Irene penuh perhatian.

“kudengar kau pintar berbahasa spanyol. Aku memiliki masalah dalam pelajaran itu. Bisakah kau membantuku?” ucap Irene cepat. Wajahnya bersemu merah. Jinhwan tersenyum lembut seraya bergerak duduk kembali ke kursinya.

“tentu saja. Akan menjadi sangat berarti untuk membantu orang lain dengan pengetahuan yang kita miliki. Tapi, aku anak rumahan yang lugu, tidak biasanya aku pergi keluar. Jadi, maukah kita belajar dirumahku saja?” ucap Jinhwan sembari bertopang dagu, dengan senyuman lembutnya yang masih tertuju pada Irene.

“ahh.. terimakasih Jinhwan-ahh.... tentu saja aku mau. Dimana saja boleh” ucap Irene malu-malu.

“BERITA HEBOH!!!!!!!! BERITA HEBOH!!!!!!!” Teriak seorang anak yang bernama Bambam yang kini berteriak heboh disepanjang koridor. Irene dengan segera berdiri dan memasang kembali ekspresi wajahnya yang biasa.

“Bambam! Berhenti berteriak. Kau akan mengganggu kenyamanan kedamaian sekolah. Ada apa?” seru Irene kesal.

“ah kau temannya kan?” seru Bambam yang tidak mengindahkan Irene, alih-alih menarik tangan Jinhwan yang berdiri dibelakang Irene.

“maaf?” ucap Jinhwan tak mengerti.

“Baekhyun. Ia, Chanyeol, dan Hoshi sedang berdiri dilapangan utama sekarang, mendongak menghadap bendera. Mereka meledakkan ruang guru dengan bom kompos yang dirakit oleh Baekhyun. Tempat itu sangat bau dan kotor sekarang. Tidak hanya itu, mereka memberikan bubuk gatal pada krim kepala Shindong saem”  jelas Bambam tanpa jeda sedikitpun.

Jinhwan menutup wajahnya dengan telapak tangan kirinya. Ia tampak antara malu dan frustasi. Irene terlihat akan meledak. Kedamaian dan ketertiban sekolah adalah goalnya yang paling suci di dunia ini. Dia tidak akan sudi membiarkan siapapun menghancurkan itu. Ia berjalan lebih cepat dari siswa lain yang kini telah berbondong-bondong pergi untuk melihat Baekhyun, Chanyeol, dan Hoshi yang kini dikenal dengan nama “Trio Trouble”.

Trio trouble tidak nampak kecewa dan lesu apalagi merasa bersalah. Mereka terus mengobrolkan lelucon aneh yang membuat ketiganya tertawa terbahak bahak walaupun wajah mereka telah merah terkena sengat matahari langsung.

“kau liat si botak gendut Shindong itu? Kurasa akan tumbuh jerawat di kepalanya. Oh astaga. Bukankah itu akan membentuk kawah kawah serta gunung seperti bulan?” Baekhyun berkata sembarang, yang diikuti gelak tawa oleh Chanyeol dan Hoshi.

“aku dengar si tua Sooman memiliki bisul di pantatnya. Tidak dapat kubayangkan jika bisul itu pecah sewaktu bom brilianmu itu meledak dan ia terjerembab ke keranjang berkas” ucap Hoshi yang kini sedang berusaha memanjat tiang bendera.

Baekhyun memegangi perutnya yang sakit akibat tertawa. Chanyeol telah terduduk sempurna. Tidak sanggup lagi untuk berdiri.

“oh astaga. Ayo, para pahlawan. Hadapi takdirmu. Monster ganas jelek sedang menuju kemari. Persiapkan dirimu! Ayo! Hadapi hidup dan matimu. Kita ada untuk membela hak asasi para pemberontak dan perusuh!” teriak Baekhyun dramatis ketika sang kepala sekolah botak, Shindong datang menghampiri mereka dengan sebatang rotan ditangannya. Ia tampak sangat geram, terlihat dari caranya memukul-mukulkan rotan itu sepanjang ia berjalan.

“Kuchiyose no jutsu!” teriak Hoshi yang kini kepalanya telah diikat oleh pengikat kepala berlambang Konoha, lengkap dengan gerak tangannya yang membentuk jutsu pemanggil hewan ala Naruto tersebut.

“hiyaaaaaaa” teriak Chanyeol yang kini berlari slowmotion ke arah Shindong

“ulululululululululuuuuu” susul Baekhyun yang entah darimana kini telah membawa sapu ditangannya yang dianggapnya sebagai tombak, beserta seruannya yang seperti suku pedalaman hendak berangkat perang.

“DIAM KALIAN!” gelegar Shindong yang langsung membuat isi sekolah terdiam. Baik itu trio trouble maupun mereka yang menonton.

“BERDIRI MENGHADAP TEMAN-TEMAN KALIAN. SEKARANG!” Gelegarnya lagi. Mereka bertiga dengan wajah datar pun menghadap ratusan mata yang menanti dengan tidak sabar. Mata Baekhyun bertemu dengan mata Jinhwan, yang jelas menampakkan ekspresi tidak senang.

PLAKKK PLAKKK.....

Suara rotan beradu dengan bokong trio trouble. 30 menit kemudian mereka telah kembali ke kelas masing-masing. Chanyeol dan Hoshi kembali ke kelas 2 (5) sedang Baekhyun kembali ke 2 (1). Mata Baekhyun bosan sekali melihat keadaan kelasnya yang terlalu tenang, semua orang disitu hanya memiliki dua aktivitas. Belajar dan bersikap sok high class. Kelas itu memang berisi para siswa berprestasi gemilang di bidang akademik serta para pejabat sekolah. Jauh berbeda dengan kelas Chanyeol dan Hoshi, yang lebih cocok baginya. Baekhyun disambut oleh pandangan kurang senang dari orang kelasnya, karena kelas tersebut memang berisi orang-orang yang taat peraturan dan selalu menjujung tinggi perihal prinsip kelasnya agar selalu tertib dan disiplin. Orang-orang dikelas 2 (1) sangat anti terhadap kelas 2 (5) yang mereka anggap anjing liar yang tidak tau aturan. Baekhyun baru saja duduk dikursinya ketika Irene dan Jinhwan memasuki kelas. Jinhwan tidak menegur Baekhyun. Ia menarik kursi Irene dan mempersilahkan gadis itu duduk. Irene tidak langsung duduk. Ia terlihat geram dan menunjuk Baekhyun.

“kau nampaknya telah menjadi satu dari para anjing liar itu?” ketusnya sembari menatap jijik pada Baekhyun.

“wah sayangku yang manis. Tak kusangka gadis paling pintar disekolah ternyata paling bodoh sehingga tidak bisa membedakan mana manusia mana anjing. Jika aku anjing maka kau juga anjing. Karna kita sama” ucap Baekhyun sembari tersenyum polos. Polos yang dibuat buat. Polos yang lebih ke arti menghina Irene.

“Baek sudahlah” ucap Jinhwan malas.

“sejak kapan kau terus membelanya daripada aku? Yang temanmu itu aku” protes Baekhyun yang kini memasang wajah masam ke Jinhwan.

“tidak. Jinhwan lebih senang berteman denganku. Bukan begitu, Jinhwan?” ucap Irene yang memasang senyum sombong. “Jinhwan anak yang rapi dan disiplin. Sementara kau......”  Irene menambahkan sembari menatap Baekhyun dari atas kebawah dengan pandangan jijik. Jinhwan tidak menimpali. Ia dengan santai meminum minuman kalengnya dan menatap papan tulis.

“oh... telah membuat sekutu rupanya. Tapi tak kusangka. Biasanya kau berselera dengan yang berpayudara besar. Sementara si Ratu sekolah menyebalkan ini........” Baekhyun menatap Irene dengan tatapan meremehkan “sama sekali tidak layak untuk dijamah. Aku ragu apakah dia seorang gadis atau papan triplek” gelak tawa nampak terdengar tertahan oleh penghuni kelas. Irene bersemu merah. Ia mengepalkan tangannya. Baekhyun menyeringai penuh kemenangan.

Sisa kelas hari itu dihabiskan Baekhyun dengan bosan. Ia ingin segera pulang dan bermain dengan Chanyeol dan Hoshi. Ketika akhirnya bunyi bel berdentang, menandakan bahwa kelas telah berakhir, Baekhyun dengan sigap melompat dan berlari ke koridor, mendatangi Chanyeol dan Hoshi yang telah menunggunya.

“mau makan eskrim dulu? Biar aku yang traktir” ucap Baekhyun girang.

“Mungkin Chanyeol saja. Ibuku telah menelepon bahwa dirinya sudah ada didepan sekolah sekarang” ucap Hoshi penuh kesedihan.

“persoalan ibu memang hal yang paling sulit dimengerti. Yasudah pulanglah.” Ucap Baekhyun sembari menepuk nepuk pundak Hoshi.

Baekhyun dan Chanyeol menikmati eskrim besar ditangan, yang ditraktir oleh Baekhyun, ditraktir dalam kamus Baekhyun adalah mencuri. Ia dan Chanyeol memilih kedai eskrim yang penuh antrian lalu memesan dengan sangat ribut, ketika eskrim telah diberikan, mereka dengan sigap menjauh dari kerumunan.

Baekhyun tengah asyik menceritakan pada Chanyeol bagaimana nenek tua tetangganya pernah hampir terkena serangan jantung karena Baekhyun menghidupkan petasan tepat didepan jendela kamar nenek tua malang itu. Baekhyun hampir sampai pada kesimpulan cerita, dimana ia dimarahi habis-habisan oleh ibunya, ketika matanya menangkap pergerakan di ujung jalan. Itu Jinhwan dan Irene, bergandengan tangan, mencicipi eskrim juga. Chanyeol mengikuti arah pandang Baekhyun.

“aku pernah melihat Jinhwan.” Celetuk Chanyeol.

“dia dimana mana. Orang itu tidak pernah bisa diam dirumah” timpal Baekhyun.

“tapi aku melihatnya malam-malam, sedang mabuk bersama seorang wanita. Malam itu aku ke minimarket membeli susu. Aku tidak bisa tidur malam tanpa minum susu, kau tau.” Jelas Chanyeol.

“ya ya... itulah Jinhwan. Sisi buruknya memang begitu. Terlalu banyak bermain wanita. Aku sudah sering menasehatinya namun ia tak menggubris. Tapi ini tontonan menarik, kau tau...” seringai Baekhyun.

“tontonan?” ulang Chanyeol tak mengerti.

“Ratu sekolah menyebalkan itu akan berakhir hamil atau frustasi atau bunuh diri karena Jinhwan tipikal orang yang senang menjamah lalu meninggalkan. Tapi kau tidaik usah membocorkan ini kepada siapapun. Kecuali Hoshi.” Ucap Baekhyun tajam.

“aku janji.” Ucap Chanyeol pelan.

Baekhyun menyeringai sembari terus menjilat eskrimnya.

“irene........ apakah kau sudah mempunyai pacar?” tanya Jinhwan memecah kesunyian...

“aku? Eh belum...........” jawab Irene, kembali tersipu malu.


-to be continued-

Sabtu, 10 Oktober 2015

THE PRINCE VS THE DEVIL.

Bola kasti terus menerus memantul-mantul di dinding putih itu, meninggalkan bercak kehitaman disana.

“tidak bisakah kau membujuk ibumu? Kau tau sekolah itu sangat disiplin” Seorang anak muda bernama Kim Jinhwan duduk dikursi, matanya tertuju pada sahabatnya, Byun Baekhyun yang sedang menampilkan mimik muka santai dan sudah sejak setengah jam yang lalu melempark lemparkan bola kasti ke dinding. Baekhyun menggembungkan pipinya dan mengeluarkan tiupan-tiupan nafas yang mengeluarkan bunyi abstrak.

“Baek, aku serius.” Jinhwan mengernyitkan dahinya, menendang kursi Baekhyun hingga pemuda itu hampir terjungkal jika saja kakinya tidak sigap menapak lantai.

“jika kau terlalu khawatir, ikut saja pindah denganku. Kau terus menerus membicarakan itu sejak kemarin” Baekhyun berdecak heran sembari menghidupkan tapenya dan menari nari tidak jelas.

“dudududuuuuu...... someone call the doctor  nal butjapgo malhaejwo” ia bersenandung mengikuti irama musik tapenya.

Jinhwan bangkit dengan menggeleng-gelengkan kepalanya. Baekhyun tipikal orang yang selalu meremehkan sesuatu. Jinhwan hanya khawatir pada tingkah Baekhyun yang sangat nakal dan selalu berbuat sesuatu semaunya. Ia sudah 3 kali dikeluarkan dari SMA yang berbeda karena membolos, mengempeskan ban mobil semua guru, hampir membuat satu siswa terjatuh dari balkon karena ia mengagetkan siswa itu dengan kodok besar sungguhan.

-KEESOKAN HARINYA-

“berjanjilah kau tidak akan membuat kekacauan apapun lagi. Jika kali ini kau dikeluarkan lagi, ibu tidak akan menyekolahkanmu lagi. Ini daftar aktivitas yang harus kau lakukan. Ibu sudah mendaftarkanmu.” Baekhyun mengambil kertas yang ibunya serahkan padanya.

Basket
Vocal
Piano
Gitar
Photography
Melukis

“oh bu! Apa-apaan ini. Apakah aku harus mengikuti semuanya?” keluh Baekhyun. Wajahnya memerah karena kesal.

“harus, dan tidak ada tapi” ucap ibunya cepat ketika baekhyun baru akan angkat bicara lagi.

“6 aktivitas untuk 6 hari dalam seminggu. Setelah 3 bulan kau bisa memilih 3 diantaranya yang akan menjadi prioritas utamamu.’’ Nyonya Byun berkata dingin dan segera menyuruh Baekhyun pergi dengan berkata bahwa Jinhwan telah menunggunya di mobil. Baekhyun bergegas turun kebawah dan menghampiri sahabatnya.

“jadi mengikuti jejakku, eh?” sapa Baekhyun sembali tersenyum miring sembari masuk ke kursi penumpang ditengah. Disusul Jinhwan disampingnya.

“diamlah. Aku hanya memastikan kau tidak akan membuat masalah apapun lagi. Aku sudah berjanji pada ibumu.” Jelas Jinhwan singkat.

“ah, bersekongkol dengan ibuku rupanya. Hebat sekali kau. Tidak taukah kau betapa tersakitinya hatiku kau khianati?” ucap Baekhyun dramatis sembari menepuk-nepuk dadanya, memasang mimik wajah sedih, yang orang buta sekalipun tau bahwa hal itu hanya permainan belaka.

“berhentilah dan tutup mulutmu” ujar Jinhwan sembari memukul kepala sahabatnya tersebut, membuat Baekhyun terkekeh pelan dan bersenandung pelan.

“Beautiful girls, all over the world.. I could be chasin but my time would be wasted... They got nothin on you, baby... Nothin on you, baby... They might say hi, and I might say haii!” ucap Baekhyun yang tiba-tiba mengganti nada lagunya menjadi sebuah sapaan. Jinhwan yang mendengar kejanggalan nada itu sontak menoleh kesamping. Jendela Baekhyun telah terbuka lebar rupanya. Dan disamping mobil mereka, sebuah mobil tanpa atap berwarna pink tengah terparkir sempurna,bersama sama menunggu lampu lalu lintas menjadi hijau.

Pemilik mobil itu, seorang gadis berseragam sama seperti Jinhwan dan Baekhyun, memakai sunglasses berbingkai pink, tampak tidak mengindahkan sapaan pagi Baekhyun, membuat pemuda itu beringsut, mengeluarkan setengah badannya dari jendela dan melontarkan senyuman tolol kearah sang gadis.

“mentari terang yang mengambang diatas tambang... benderang bagai gemuruh perang... seperti itulah hatiku melihatmu wahai putri jelita” seru Baekhyun asal, yang membuat orang-orang berkedut kening dan menahan tawa. Gadis itu membuka kacamatanya, menyelipkannya keatas kepalanya seperti bando, menoleh ke arah Baekhyun dan memandangnya dengan pandangan jijik bercampur malas.

“kau pikir kau siapa berani menegurku seperti itu?” tanyanya angkuh, yang disambut Baekhyun dengan senyuman miring. Ia menggigit bibir bawahnya dan melemparkan kecupan jarak jauh pada sang gadis sembari mengerlingkan mata kirinya. Ia kembali menarik dirinya masuk kedalam mobil dan berteriak “see you in school, bae joo hyun” ketika lampu berubah hijau dan mobilnya melaju kencang.

Gadis itu mengernyitkan keningnya dan terlihat kesal. Ia terlihat sangat tidak senang. Ia bergegas memperbaiki kacamatanya dan melaju kencang dengan amarah.


Baekhyun memajukan bibir bawahnya sembari menggembungkan pipinya ketika ia dan Jinhwan duduk diruangan kepala sekolah. Ia duduk sembarangan diatas meja kepala sekolah (yang belum datang) serta dengan semaunya membuka berkas-berkas disitu serta bermain-main dengan bendera sembari menghormat penuh kejahilan.
“HORMAAAAATT” serunya lalu bergaya ala pasukan dan tertawa-tawa sendiri.

“hentikan itu, idiot. Kepala sekolah akan seg---“ tepat ketika itu pintu terbuka dan muncullah seorang lelaki paruh baya berkepala botak licin. Baekhyun mendengus menahan tawa hingga kakinya disepak oleh Jinhwan.

“aku secara khusus diminta oleh ibumu untuk mendisplinkanmu, Byun Baekhyun. Dan aku tidak akan menyerah terhadapmu.” Ucap kepala sekolah sembari menggosok-gosok telapak tangannya penuh gairah.

“baguslah. Jadi aku tidak perlu bersikap sok baik padamu” ucap baekhyun sembarang sembari menaikkan kakinya kehadapan kepala sekolah. Pria itu menahan nafas. Wajahnya menjadi setengah merah.

“huakakaka kau lihat itu, bung?” gelak Baekhyun sembari menyenggol Jinhwan. “berani taruhan si botak licin gendut ini tidak akan tahan menghadapiku bahkan untuk satu minggu” ucap Baekhyun sembarang, yang membuat Jinhwan memukul kepalanya.

“tidak apa-apa Jinhwan-sshi.” Ucap sang kepala sekolah tersenyum. “kalian bisa mulai memasuki ruangan kalian.”

“sebaiknya kau tundukkan kepalamu, pak. Kurasa aku harus bercermin untuk melihat apakah ada bekas cabe di gigiku” ejek Baekhyun sebelum akhirnya ditarik Jinhwan pergi.

Mereka tiba dikelas 20 menit setelah kelas dimulai. Guru sedang mengajarkan rumus rumit dipapan tulis ketika akhirnya berhenti, mendengar ketukan sopan Jinhwan di pintu. Mereka dipersilahkan masuk dan memperkenalkan diri.

“Namaku Kim Jinhwan. Kalian bisa memanggilku Jinhwan” ucapnya singkat yang disambut gemuruh oleh murid lain, murid-murid wanita tentu saja.

“bagaimana dengan sekolahmu sebelumnya?”

“apa id line mu?”

“apakah kau punya pacar?”

Gemuruh para gadis itu semakin memekakkan telinga.

“DIAM!” Bentak Baekhyun yang telah memasang mimik serius. “begitu lebih baik” ucapnya sok berwibawa ketika seluruh kelas telah diam.

“namaku Byun Baekhyun. Biasa dipanggil Baekhyun” ucap Baekhyun singkat. Kali ini tidak ada gemuruh apapun. Keadaan kelas sunyi.

“Baekhyun dan Jinhwan, kalian berdua duduklah dimeja paling belakang, tepat dibelakang Irene dan Tiffany.” Ucap sang guru sembari menunjuk kursi yang ditunjukkan. Baekhyun mengikuti arah tangan sang guru dan seketika tersenyum miring.

“eitss... aku disitu” sergah Baekhyun ketika Jinhwan hendak duduk dikursi dekat jendela, membuat Jinhwan memutar bola matanya dan duduk dibelakang gadis bername-tag Hwang Min Young.

Baekhyun menendang-nendang kursi didepannya, merobek robek kertas bukunya, membuatnya menjadi gumpalan-gumpalan lalu dilemparkannya kekursi depan dari bawah meja. Tiba-tiba gadis bername-tag Bae Joo Hyun didepannya berdiri, mengacungkan tangannya.

“ya, irene?” tanya sang guru.

“maaf menyela pak, bukankah akar kuadrat 3 jika dikalikan dengan 9 akan membentuk sebuah aljabar setara yang dapat disilangkan dengan pemecahan integral dasar?”  Irene tetap berkata-kata hingga 15 menit selanjutnya, membuat guru tua itu tertunduk lesu dan akhirnya bel pun berbunyi.

Jinhwan nampaknya telah menjadi akrab dengan Tiffany sehingga mengacuhkan Baekhyun dan berjalan santai keluar kelas menggandeng Tiffany.

“ckckck dasar hidung belang” ucap Baekhyun mengumpat. Ia menendang mejanya, yang membuat irene tersentak kedepan.

“hey! Hentikan itu!” ucapnya masam.

“oh maaf, aku tau kau disitu, tapi aku tidak perduli. Apa ada yang sakit? Kalau ada, syukur. Kalau tidak ada, biar kubikin ada” ucap Baekhyun sembarang sembari memasang senyumnya. Senyum yang membuat beberapa gadis lain dikelas itu memandangnya dengan gemas.

Irene memutar bola matanya dan bergegas keluar dengan kesal. Baekhyun dengan sigap mengikutinya. Irene berjalan dengan dagu terangkat, dengan sebuah buku catatan ditangannya dan beberapa kali berhenti untuk mengarahkan telunjuknya pada siswa-siswa yang tampaknya melakukan pelanggaran.

“Chanyeol! Kau melanggar peraturan sekolah nomor 4, yang mengharuskan semua baju seragam dimasukkan!” teriaknya histeris dan memandang Chanyeol dengan dahi mengernyit.

“Jaehyun! Kau melanggar peraturan sekolah nomor 78, tentang membudidayakan tersenyum!” ucapnya sembari tersenyum penuh angkuh serta mencatat catat pelanggaran setiap siswa yang didakwanya.

“berhenti disitu!” teriaknya dengan angkuh, membuat beberapa junior terhenti dan memandangnya takut.

“tenanglah, dik. Aku tidak akan menghukum mu. Aku hanya ingin tau, apakah buku ini sudah resmi kau pinjam dari perpustakaan?” ucapnya dengan tenang sembari tersenyum anggun dan menarik pelan buku dari salah satu junior tersebut serta membukanya. “ahh, kau baru meminjam hari ini. Bagus. Kau tidak boleh meminjam sembarangan tanpa menuliskan namamu. Dan ingatlah untuk mengembalikannya tepat waktu, atau kalau tidak kau akan melanggar peraturan perpustakaan nomor 14 tentang pencurian” ucapnya sembari berlalu kembali dengan dagu terangkat.

Baekhyun melihat semua kejadian itu dengan mendengus menahan tawa. Ia tersenyum lalu dengan santai berjalan sembari menarik bajunya keluar, membuka 3 kancing atas kemejanya, membuat dasinya berantakkan, dan berjalan santai mendahului Irene.

“Byun Baekhyun!” serunya. Baekhyun tersenyum lalu berbalik badan. Semua orang di koridor memasang mata mereka pada Irene dan Baekhyun.

“ya, sayangku?” ucap Baekhyun sembari melangkah kearah Irene sembari menggigit bibir bawahnya.

“kau melanggar aturan sekolah no—“

“nomor 4 tentang harus memasukkan baju dengan rapi? Oh aku tau itu, manis. Tapi bagaimana ini... tanganku baru saja terkilir dan aku tidak bisa melakukan itu. Maukah kau melakukannya untukku?” ucap Baekhyun, tersenyum mesum sembari mengangkat alisnya.

“ehey... ya, irene! Lakukanlah. Kupikir otak peraturanmu tidak akan tahan melihat baju Baekhyun berantakkan” terdengar suara Chanyeol mengudara.

“diam!” bentak Irene angkuh. “tanganmu tidak terkilir dan jangan memanggilku dengan sebutan sayang. Cepat masukkan bajumu atau aku akan memanggil bagian kesiswaan untuk mendisiplinkanmu” ucap Irene dengan dagu yang lebih terangkat.

“bagaimana jika kau saja yang mendisiplinkanku? Kita bisa mencari kamar atau gudang kosong. Kau memang harus mendisiplinkanku. Ah, maksudku, mendisiplinkan adik didalam celana ku yang terus menerus bergemuruh setiap melihat lekuk indah tubuhmu yang minta dijamah dan diremas itu” ucap Baekhyun mesum yang membuat gemuruh Chanyeol serta beberapa murid lain semakin keras.

“hahah! Hantam, bung!” teriak Chanyeol.

Wajah irene memerah. Ia mengepalkan tangannya kesal.

Bukkk............

“ugh... apa-apaan kau..” Seru Baekhyun sembari menoleh kebelakang. Ternyata Jinhwan baru saja menendang bokongnya.

“kemari. Biar aku yang mendisiplinkanmu. Tanganmu terkilir kan?” ucap Jinhwan dingin sembari menarik kerah Baekhyun.

“lepaskan.” Sergah Baekhyun jengkel. Ia menepis tangan Jinhwan dan memandang Jinhwan kesal.

“maafkan temanku, Irene. Dia memang begitu. Apa kau terluka?” ucap Jinhwan penuh perhatian sembari bergerak kearah Irene dan memandangnya lembut. Matanya dan Irene saling memandang dalam diam. Pipi Irene mendadak memerah.

“hoho, sudah cukup, Romeo. Kurasa sang Juliet ingin kembali ke tugas ‘mulia’nya dalam menghakimi seluruh isi sekolah” ucap Baekhyun dengan penekanan pada kata “mulia” yang jelas-jelas menghina.

Baekhyun menarik Jinhwan menjauh. Jinhwan tersenyum sekali lagi pada Irene lalu bergerak menjauh.

“namanya Kim Jinhwan. Dia begitu baik dan lembut serta perhatian. Saos burgerku berantakkan di pipi dan dia mengambilkan tissue untuk membersihkannya.” Celetuk Tiffany yang tiba-tiba berbisik pada Irene.

“Jinhwan...........” ucap Irene pelan...

-to be continued-


Selasa, 15 September 2015

ABDUCTION

Jika kau mengukur kebosanan hidup berdasarkan skala 1-10, maka aku berada di skala 20. Benar sekali, tidak ada yang bisa mengukur kebosanan hidupku didunia ini. Aku hanya selalu merasa---atau berkhayal bahwa sebenarnya aku tidak cocok hidup di dunia ini. Aku adalah sulung dari 3 bersaudara. Orang tuaku benar-benar membuat darahku naik setiap harinya dengan tingkah mereka yang sulit diterima oleh orang normal. Begini, yeah.. aku tidak membenci mereka namun aku bosan hidup dengan mereka. Benar-benar bosan. Aku tidak bisa bebas. Aku selalu diawasi. Keadaan rumah selalu ribut. Aku mempunyai seorang adik perempuan dan laki-laki yang ingin sekali kugantung di pohon willow ditengah padang. Selalu berkelahi dan berebut barang apapun yang bisa mereka berdua rebutkan. Jika sudah begitu, ayahku akan berteriak. Teriakan yang sangat nyaring hingga pernah di suatu malam yang penuh badai petir, ia berteriak pada kedua adikku, hebat sekali hingga suara petir itu teredam oleh suaranya. Tiap hari aku harus bangun jam 4 pagi. Jika tidak, ayahku akan berteriak ditelingaku atau menyiramku dengan air bekas cucian. Aku harus mengepel lantai dan mengangkat karung gandum. Ayahku memiliki usaha olah gandum dan aku harus tersiksa setiap hari. Ibuku tidak kalah membosankan. Tipe wanita yang gemar sekali mengomeli atau mengomentari setiap detail kehidupanku. Aku tau mungkin maksudnya peduli pada anaknya, namun itu membuatku tidak nyaman. Ia terus menerus mengomentari aku, rambutku, nilai pelajaranku atau apapun dari diriku yang merupakan kesalahan dimatanya. Ayah dan ibuku tidak jarang berbicara betapa aku sangat menyusahkan mereka dulu, ketika aku masih bayi. Betapa aku sering sekali menangis. Heran sekali, mengingat betapa tegarnya aku sekarang. Aku hampir tidak pernah menitikkan air mata, seberapa berat dan membosankannya kehidupanku. Mungkin karena aku anak laki-laki, entahlah. Jika aku membuat kesalahan, mereka dengan sangat bersemangat mengatakan betapa menyesalnya mereka meembesarkanku. Jika sudah begitu, memang hatiku sakit, namun aku hanya bisa pergi kekamar, mengunci pintu, menatap langit-langit kamar dan merenungi nasibku. Aku heran mengapa aku lebih bersikap bosan ketimbang benci dengan mereka. Mungkin karena aku sudah kebal diperlakukan seperti ini. Disekolah pun keadaanku tidak berubah, hanya saja tidak ada yang berani menggangguku karena aku tidak suka diganggu. Aku menghabiskan waktuku disekolah dengan tidur, karena aku tidak mendapat cukup tidur dirumah. Aku selesai bekerja di pabrik gandum pukul 12 malam, dan harus bangun jam 4 pagi. Bayangkan saja. Bagaimanapun, satu-satunya hal yang bisa ku banggakan adalah otakku. Aku tidak pernah belajar, namun aku bisa selalu paham materi dengan mudah, tidak perlu memakai penjelasan guru. Dan aku selalu mencapai nilai tertinggi disekolah. Anak-anak kaya yang seharusnya bisa membayar biasa les private atau kursus khusus bahkan kalah olehku. Aku memang seorang anti-sosial. Aku hanya memiliki satu teman. Jaehyun. Diapun tak jauh beda dariku, hanya saja ia hidup sebatang kara. Orangtuanya tak tau dimana. Dia dibesarkan di panti asuhan dan menemukan fakta bahwa dulunya ia ditemukan di tong sampah. Kami menghabiskan waktu dengan berjalan jalan dihutan, tidur diatas pohon, berkelana hingga sore dan yang pasti mengunjungi si tua Bolg. Ia adalah seorang kakek tua yang hidup ditengah hutan. Awalnya ia membuat kami takut dengan janggut panjangnya serta jubah coklat tuanya yang sudah bertambal dimana mana dan dipenuhi bau tikus. Namun lama kelamaan, ia menjadi teman kami, berawal dari tragedi di sungai. Aku bisa mati tenggelam seandainya ia tak menyelamatkanku. Hanya dengan Jaehyun dan Bolg lah aku bisa menampilkan tawa dan senyumku. Sebagian besar wajahku hanya ditampilkan dengan muram, tak bersemangat, seakan tak berjiwa dan selalu menatap orang dengan pandangan malas.

Pagi itu pagi pertama di liburan musim panas. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi. Aku sudah selesai beraktivitas di pabrik gandum dan ayahku mengizinkan aku pergi dengan geraman serta teriakan keras agar aku kembali sebelum petang. Bagaimanapun mereka memperlakukanku, mereka tidak ingin aku mati, tentu saja. Biaya kematian sangat mahal. Setelah menyiapkan sebotol air yang kusematkan ditas, aku masih harus mendengar omelan ibu tentang betapa lusuhnya rambutku sebelum aku akhirnya bisa dilepas dengan tenang. Aku berjalan dengan terburu-buru. Bolg sudah berjanji akan menunjukkan kami (aku dan Jae) sesuatu yang luar biasa. Entah apa itu. Dia hanya berpesan agar kami memakai sepatu dan membawa ransel. Aku bertemu Jae tepat ditengah hutan. Kami bercerita banyak sembari memakan sandwich yang sudah dipersiapkan Jae. Masing-masing kami benar-benar tidak sabar menanti petualangan.

Bolg tengah merebus sesuatu di ketel diatas perapiannya ketika kami masuk. Rumah Bolg hampir mirip istal kecil namun lebih besar. Atapnya terbuat dari jerami. Ia menawari kami sandwich rusa namun kami menolak dengan berkata sudah makan. Memakan masakan Bolg bukanlah sesuatu yang bisa dibilang bijaksana.

“apa itu, Bolg?” tanyaku mendekatkan diri ke ketelnya. Didalam sana, sebuah benda yang mirip bola kasti berjumlah 3 buah sedang bergemeletuk.

“ini telur unicorn” jawab Bolg dengan seringai riang.

Aku dan Jae mengeryitkan dahi tanda tak mengerti. Bolg mengerti itu
.
“ah, maafkan. Harusnya aku beritau kalian. Unicorn adalah makhluk sucisekaligus makhluk langka yang hidup jauh diujung sana.”

Ketika Bolg mengatakan “diujung sana” aku tau itu mungkin ribuan kilometer. Kami para manusia selama ini hidup hanya disekitar lingkungan kami dan tidak pernah mau tau menau urusan dunia luar. Dan kami tau Bolg tidak seperti manusia pada umumnya. Ia telah menjejaki banyak tana diluar sana. Ia kerap bercerita pada kami. Kami tentu saja ingin sekali mengikuti jejaknya namun ia selalu berkata kami belum siap untuk itu.

“waktu kalian telah tiba” ucapnya tiba-tiba. “aku akan membawa kalian pergi jauh, keluar dari lingkungan aman ini, namun harus kupastikan kalian memang siap. Akan ada banyak sekali kejadian berbahaya diluar sana.” Ucapnya dengan serius. Aku dan Jae mengangguk tanda mengerti.

“keadaan dunia sedang berbahaya. Para elf di timur telah memperingatkan ini sebelumnya. Seorang winged elf bertandang kerumahku semalam”
Aku dan Jae tau apa itu elf. Kami mendapat banyak informasi dari Bolg tentang dunia luar.

“baiklah, kapan kita akan pergi?” ucap Jae bersemangat.

“besok jam 5 pagi kuminta kalian sudah berada disini. Selain itu kita akan berangkat bersama satu orang lagi”

Penjelasan selanjutnya tidak masuk ketelingaku. Aku diam seribu bahasa, memikirkan caranya untuk bisa lepas dari aktivitas rutinku di pabrik gandum. Aku terbangun dari lamunanku ketika Jae menyenggolku dan berkata sebaiknya kami pergi karena hari telah malam. Bolg menawarkan kalkun dingin untuk bekal kami dalam perjalanan pulang.

Jae tidak akan punya masalah dalam keberangkatannya esok hari, tapi tidak denganku. Aku menyantap kalkun itu dan berjalan tanpa suara. Jae terus menerus berbicara dengan penuh semangat, membicarakan betapa serunya petualangan yang akan kami hadapi. Aku meresponnya dengan anggukan-anggukan kecil.

“Jae, apa kau punya ide bagaimana aku bisa melarikan diri besok? Kau tau kan keluargaku bagaimana” ucapku memotong ucapan Jae yang tengah membicarakan betapa indahnya gunung-gunung di utara, sesuai yang pernah diceritakan Bolg.

“eh? Ah benar... kau harus melewati para troll tua itu”

“jae...”

“maaf maaf... baiklah. Emm.. bagaimana ya..”

Aku mendengus pasrah. Tidak satupun ide bisa keluar dari otakku. Ayahku ketat sekali mengenai perbudakan di pabrik gandum dan aku nyaris tak bisa lepas dari itu. Kecuali kalau...........

“Aku akan ada disini jam satu pagi besok” ucapku.
“apa kau yakin? Maksudku, itu terlalu cepat” respon Jae keheranan.

“tidak... aku akan pergi ke Bolg terlebih dahulu.”

“ah tidak tidak, aku juga akan berangkat diwaktu yang sama. Kutemui kau disini jam satu lewat lima belas menit. Bagaimana, bung?”

“deal.”

Aku menghabiskan kalkunku dan kami berpisah di tepi hutan. Rumah Jae ada di lembah pegunungan dipinggiran desa sementara rumahku ada ditengah desa. Aku sampai kerumah tepat pukul 5 sore dan langsung bergerak kemeja makan. Hidangan minum teh sore itu terdiri dari pai buah dan teh chamomile. Pai buah buatan ibu tidak pernah tidak enak. Dan teh chamomile lebih baik daripada teh hijau hambar yang menjadi hidangan minum teh sore kemarin. Sore itu ayah menjelaskan bahwa desa sedang gempar dengan munculnya sosok misterius dari arah pegunungan. Teriakan ayah yang meneriaki kedua adikku tak terdengar karena aku sibuk memikirkan nasibku besok. Bagaimana bisa aku kabur dengan leluasa sedangkan desa tentunya sedang dijaga ketat seperti ini. Ayah tentunya akan dengan ketat mengawasi setiap pergerakan kami. Aku mengurung diri dikamar, sibuk dengan rencanaku dan keluar ketika dipanggil untuk makan malam. Kentang tumbuk, sup daging domba yang dicampur dengan krim susu hangat serta sosis panggang malam itu dengan cepat kuhabiskan. Ayah sedang menggerutu tentang karung gandum yang bocor tadi siang ketika aku ijin untuk tidur lebih awal. Aku menyiapkan berbagai kebutuhanku dengan pelan. Satu saja suara mencurigakan akan membuatku dikurung seharian. Mata ayah sangat jeli dalam melihat kejanggalan-kejanggalan. Entah apa yang akan diteriakkannya ketika tau aku kabur besok. Aku berusaha tidur malam itu tapi tak bisa. Bayangan petualangan yang seru menguasai pikiranku. Aku terbangun tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah satu pagi. Ayah terdengar baru saja meninggalkan toilet, berhubung pintu kamarnya baru saja ditutup. Benar saja. Aku telah memperhitungkan ini. Ayah akan terus mengawasi hingga tiba waktunya ia ke toilet dan setelah itu ia akan tidur dan tidak akan bangun hingga ayam berkokok. Aku mengendap endap keluar sepuluh menit kemudian, dengan hoodie abu-abu, celana jeans panjang, sepatu dan ransel di punggung. Arloji hitamku terpasang sempurna di pergelangan tangan kiriku. Aku mengendap tanpa suara, menuruni tangga dan melompat sebelum anak tangga terakhir, karena anak tangga itu berderit. Aku menyelinap ke dapur, mengambil kantong kulit dan mengisinya dengan beberapa gelung chistorra mentah, lima lapis ham dingin, beberapa potong pai buah, dua buah kentang rebus, beberapa apel dan terakhir kumasukkan sisa sup daging domba kedalam wadah berpenutup lalu kumasukkan lagi ke kantong kulit tadi. Aku mengisi tempat airku yang terdiri dari tiga botol, masing-masing berukuran satu liter. Setelah siap semuanya, aku mengecek arlojiku. Masih ada 10 menit tersisa. Aku makan sisa sup daging domba yang masih tersisa di panci, dan makan sebuah kentang rebus. Aku minum banyak-banyak dan ketika tiba waktunya, aku berjingkat menuju jendela didapur, membukanya sedikit, dan berhasil keluar tanpa ada hambatan sedikitpun. Lima menit kemudian aku sudah berada diperjalanan ketepi hutan. Orang-orang banyak berjaga dan butuh kesabaran untuk akhirnya bisa sampai ke tepi hutan. Aku menunggu Jae yang datang 10 menit kemudian. Ia menawariku sandwich burung dara namun aku menolaknya.

“simpan saja. Aku sudah makan” ucapku.

Kami bergerak menuju rumah Bolg dengan santai, membicarakan bagaimana aku bisa kabur dengan berhasil membawa setumpuk makanan lezat.

“kau benar tentang makanan, Byun. Kita akan sangat sangat memerlukan itu. Perjalanan ini akan jauh, kau tau.”

Aku mengangguk senang. Kami tiba di rumah Bolg sekitar pukul empat pagi. Rasanya aku bisa mendengar teriakan ayahku ketika menemukan aku tidak lagi ada ditempat tidurku. Aku tersenyum pelan sembari menunggu Bolg membukakan pintu. Pintu akhirnya terbuka namun bukan Bolg yang kami lihat.

Seorang gadis. Dengan sayap dan telinga mencuat. Ia menggunakan stelan sederhana berwarna hijau muda. Wajahnya berwarna senada dengan pakaiannya namun rambutnya berwarna pirang kemerahan. Wajahnya cantik, berbentuk oval dan memiliki pipi chubby yang standar.

“hai! Namaku Wendy, seorang winged elf. Dan kalian?” ia tersenyum riang. Aku tersenyum sedikit dan mengangguk sopan padanya.

“dimana Bolg?” tanya Jae tanpa basa basi. Ia terlihat tak tertarik pada Wendy dan malah melihat sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan Bolg.

“dia sedang kehutan, mempersiapkan sesuatu. Masuklah” ucap Wendy tersenyum, mempersilahkan kami masuk.

Wendy meenyuguhkan kami teh hitam yang berampas serta rebusan telur burung puyuh. Jae agak mengernyit.

“ini apa?” tanyaku

“oh, minumlah. Kita akan berjalan sangat jauh hari ini. Ini ramuan paling mujarab yang telah diperjuangkan Bolg semalam. Mencari hati belut malam2 bukan soal gampang. Belum lagi dengan sisik buaya dan lendir lintahnya”

Jae menunjukkan wajah mual. Aku terdiam dengan sempurna, tidak bicara apa-apa dan tetap memfokuskan diri pada cairan hitam berampas tersebut. Wendy memaksa kami meminumnya. Butuh waktu lama sampai Jae mau meminumnya.

“kau mau membunuh kami ya? Rasanya seperti kencing kuda.” Teriak Jae.

“oh, kau pernah meminum kencing kuda?” tanya Wendy dengan kepolosan yang sulit diartikan.

Jae terhuyung huyung keluar, ingin memuntahkan minumannya namun dengan cepat dikejar oleh Wendy. Aku bisa mendengar mereka berdebat. Aku sendiri tetap terdiam di tempatku, berusaha tidak muntah. Daripada kencing kuda, kurasa cairan ini lebih seperti gandum busuk yang dijadikan sup dan dicampur dengan daging domba kering. Namun aku langsung bisa merasakan efeknya. Seolah tubuhku dialiri listrik, ada sejumlah energi yang masuk ke setiap sendi tulangku.
Bolg datang tidak lama kemudian. Ia membawa sejumlah dedaunan dan menyuruh kami berkumpul.

“ini matla. Ramuan yang baru kalian minum bernama matla. Itu minuman kekuatan yang akan membuat kita mampu berjalan tanpa lelah selama sehari penuh. Kemudian ini namanya daun conbukey. Yang jika diperas lalu dikunyah, hasil kunyahan daun itu akan menyembuhkan berbagai luka atau cider jika ditempelkan.”

Bolg terus menjelaskan berbagai kegunaan daun dan aku menyimak dengan cermat. Jae masih berusaha untuk tidak memuntahkan isi perutnya dan Wendy sibuk menceramahi Jae bahwa cairan itu akan berguna sekali.

Waktu telah menunjukkan pukul 9 pagi ketika kami akhirnya memulai langkah. Pertama tama dengan melewati padang rumput, kebun sayuran (Jae mencuri beberapa kol), dan Wendy secara ajaib menghilangkan sayapnya. Kami berhenti disebuah sungai kecil dan minum sembari mengisi kembali botol-botol kami dan makan siang. Aku sedang memanggang chistorra diatas api ketika otakku teringat oleh rumah. Aku terkekeh. Ayah pasti sedang kalang kabut.

Kami mencapai tanah landai yang empuk ketika malam tiba, kira-kira pukul sembilan. Reaksi ramuan sudah hilang dan kami begitu letih.

“muddypirple!” seru Bolg ditengah kegelapan.

“kira-kira dia memanggil siapa?” bisik Jae.

“dwarf” bisik Wendy. “mereka makhluk penghuni daerah ini.”

“oh maaf, aku berbisik pada Baekhyun. Benar begitu, Byun?” Jae menyenggolku.

“oh begitu. Yah, tidak perlu begitu. Lagipula kau sudah tau jawabannya.” Sergah Wendy,

“diamlah. Kau itu sok tau sekali.” Bantah Jae yang kini suaranya meninggi.

“aku berbicara karena aku memang tau, tidak sepertimu.” Balas Wendy angkuh.

“oh yea? Taruhan denganku, makhluk lemah sepertimu tidak akan tahan dengan perjalanan ini.” Ejek Jae

“makhluk lemah katamu?” geram Wendy yang jelas sekali nampak tersinggung.

“ssttt” aku memotong mereka, karena sekarang jauh didepan sana ada kilatan cahaya api yang bergerak semakin mendekat kekami.

Ketika akhirnya cahaya itu sampai didekat kami, aku bisa melihatnya dengan jelas. Berjanggut, dengan tinggi tidak lebih dari 120cm, ekspresi wajah liar dengan tatapan garang. Rambutnya seperti sarang burung dara.

“ikuti aku, Bolg.” Ucapnya datar.

Kami mengikutinya hingga ke sebuah pohon besar, sangat besar, lebih besar dari kamarku, dan dibawah pohon itu, tepat di akar-akarnya terdapat sebuah pintu kecil. Kami harus menunduk agar bisa melewati pintu itu. Didalam rumah pohon ini suasananya hangat dan nyaman. Kilatan api yang berkobar di salah satu perapian kecil disudut ruangan serta karpet beludru merah memberi kesan klasik dan damai, serta membuat mengantuk. Kami semua disuguhi teh berwarna merah muda yang wanginya seperti wangi bunga sakura. Rasanya seperti bubur manis.

“nah, Bolg. Kupikir kau sudah tau apa masalahnya” ucap dwarf.

“ya, tentu saja, muddy. Benar-benar harus dituntaskan, kupikir.”

“dan kau pikir aman membawa belatung-belatung kecil ini bersamamu? Beserta si telinga aneh?”

“apa maksudmu belatung?” sela Jae yang kini wajahnya merah padam.

“dan telinga aneh katamu?” sergah Wendy. Mata hijaunya berkilat kilat.

Si dwarf mengerling kearahku, menandakan ia menunggu protes dariku seperti halnya Jae dan Wendy. Tapi aku diam saja.

“yah, Bolg. Kau tau kebanyakan anak dari desa diculik, dan pikirkan apa akibatnya membawa anak-anak ini bersamamu.” Lanjut si Dwarf, mengabaikan pandangan mencela dari Jae dan Wendy.

“maaf, sir... bisakah anda berterus terang saja mengenai apa yang sedang terjadi? Kami...maksudnya aku, ingin tau lebih lanjut” ucapku sopan.

“tak perlu sungkan, Byun. Akupun ingin tau.” Ucap Jae. Matanya belum lepas dari pandangan-mencelanya pada si dwarf.

Bolg berdeham. “baiklah, anak-anak. Banyak anak-anak yang diculik akhir-akhir ini. Dari semua ras, tidak hanya manusia. Dan kami belum tau siapa dalang dibalik semua ini.”

“apa ada tanda-tanda mereka akan kembali?” ucapku. Aku mengerling kearah Jae. Ia tampak gusar. Sebenarnya, adiknya telah diculik darinya setahun yang lalu.

“tidak ada kepastian tentang itu. Harus diselidiki dulu” ucap Bolg sembari memfokuskan matanya pada perapian.

“mari kita selidiki” ucapku mantap.

Krekkkk................ sebuah suara dari luar mengalihkan pandangan kami.


-TO BE CONTINUED-

Kamis, 28 Mei 2015

??? #2


Five thousand years ago, there was a sacred covenant spoken in a soft meadow. A covenant that could not be violated. A covenant which was believed to make a peace, but on the contrary, led to a disaster.  A great disaster.

in the days of yore, there was a prosperous kingdom. The kingdom was filled by educated people, its naval and armies were strong and greatly feared by all enemies. This kingdom used to be the center of all neighboring countries. they won every battle, as if victory was their breath. everything was perfect, beautiful, and would not be forgotten even if the world ends.

people in this kingdom consisted of two kinds of creatures. humans and werewolves. there was no conspicuous difference between them. all could accept the difference and it created an unspeakable peace. led by two kings as representatives of each creature, this kingdom reached its heyday. there was not a single day that passed without happiness. livestocks, agriculture, mountains, rivers, oceans, all endowed with affluent. no drought ever hit the kingdom.

That kingdom was once named "AGRIA"

located in the valley of a mountain called Anesta and fed by a large river in every corner side, Agria was a peaceful kingdom. the sun was never too hot, and rain was never too cold. there was never hunger and tears of grief was very rare. as far as eyes could see, there was only happiness.

until one day, a risky conflict arised.

the conflict was caused by the humans’ greed, greed that appeared by a desire to dominate completely. greed that led to the estrangement which was increasingly loosened so that the peace was finally disintegrated.

This case stemmed from the 100th human King who stated that humans were the ones who should take the complete control of Agria. The statement was greeted poorly by the werewolves who felt their position was threatened.

This greedy king incited all people to suppressed the werewolves. slavery was slowly emerging. the werewolves were enslaved by the humans. The peace gradually began to fade and eventually disappeared. the werewolves who could not bear it finally did a revolt and destroyed the kingdom. internal war ensued. These two opposing camps finally reached the peak of the war with a draw. none of them managed to win. Finally, the sacred covenant pronounced amid a soft meadow. A covenant whereby the two sides formally parted and promised to no longer care about each other, and the worst was, no single member of each camp allowed in touch with members of the other camp. if this promise violated, then the person who triggered it must be sacrificed. no one could escape it for the covenant was made under a deadly powerful magic.

Five thousand years later, the conflict between the two camps had crystallized and ingrained. both sides hated each other but there was never a murder, because if one of them triggered a fight, then a great war would occur. the werewolves dominated the woods and mountains, while the humans dominated plains. That soft meadow was the barrier of both camps’ areas. No one was allowed to pass through it.

Now, each camp was led by their kings. Both kings were young because they had just ascended the thrones. The King of the humans named Oh Sehun, who used to be called King Sehun. on the other hand, the King of the werewolves named Byun Baekhyun, and used to be called King Byun. Both kings had entirely different views. Sehun king was a broad-minded king who loved books rather than war things. he was an ambitious king who thirst for power and knowledge. on the other hand, King Byun is a king who fell in love with nature and adventures. He was always riding horses and being trained to use kinds of swords. he was a wise and clever king who loved peace though he did not talk much yet was always being warm to everyone. He was a brotherly person as well.

A striking similiarity of two kings was seen in their goal. Yes, both had a same goal. They wanted to rebuild the peace that was once divided between the two kingdoms. Actually, both Kings often secretly met each other while they were still princes. Their meetings were very warm since they were younger at that time. The first meeting occurred when they were 10 years old. they sneaked away from their palaces at the middle of a night, intending to satisfy curiosity. King Sehun intended to seek a point of history that could guide him to satisfy his desire for knowledge, while King Byun wanted to see how the humans' life lasted. both spent that night by shared many stories and experiences. They kept seeing each other up to the day they had crowned as kings. They became best friends. They awared that peace was more important than anything else. they linked their little fingers and made a promise that one day, they would actualize the peace. They believed that even the biggest magic hampered, they would still be able to actualize their dreams.

they had almost reached the top of their dreams when they must eventually forced to hate each other because another obstacle impeded. it was even greater than the magic.

a girl.

She came amid the two, making the situation that originally existed perfectly got shuttered so sudden.

Love is everything it's cracked up to be. That's why people are so cynical about it. . . . it really is worth fighting for, being brave for, risking everything for. and the trouble is, if you don't risk anything, you risk even more. in my case, i have to risk my friendship with Baekhyun."  – King Sehun

“As a matter of fact, a long-life friendship can be broken by the existence of love. in our case, a triangle love.” – King Byun


because of the girl, a dispute between the two appeared, there was a very big mistake that nearly led to a great war. both were confronted by two deadly choices.

“letting her go to happy with one of them”

Or

“letting their people die in war just because their selfishness toward a girl”

Only one decision needed.

"If you love two people at the same time, choose the second one, because if you really loved the first, you would have never fallen for the second"

Rabu, 27 Mei 2015

???

hard times that had previously been foreseen finally arrived. 





all contributed to determining what would happen in the future.






all were about to bear witness to a great change that had ever happened for thousands of years.





would the fierce hostility that had lasted for thousands of years be vanished by the presence of a thing called love?


all things have sacrifice


Would he be a victim of this?



Would the greatness of love could survive in the midst of a raging storm that hit?





"choose. You have to make a decision." Said his friend.

“Never cut a tree down in the wintertime. Never make a negative decision in the low time. Never make your most important decisions when you are in your worst moods. Wait. Be patient. The storm will pass. The spring will come.” He replied.

“There's no wrong time to make the right decision.

“I always wary of decisions made hastily. I always wary of the first decision. that is the first thing that comes to my mind if I have to make a decision. This is usually the wrong thing. I have to wait and assess, looking deep into myself, taking the necessary time.”

“A real decision is measured by the fact that you've taken a new action. If there's no action, you haven't really decided.”

“Do nothing, and nothing happens. Life is about decisions. You either make them or they're made for you, but you can't avoid them.


“Surely. We all make decisions, but in the end, our decisions make us.” 


he ended the conversation and walked slowly toward the balcony, gazing wistfully at the moonlight that slowly ripe redness. He knew, the time had come. Byun Baekhyun knew. He smiled bitterly as he linked his fingers. The corner of his eye twitched, indicating he was in his weakest state. Even so, he still looked like a usual; strong and tough.






“Unfortunately, we can never truly know if we're making the right decision. What we do know is that wherever we are, that's where the Light wants us to be. It's the best place for us to be now. And as long as we don't try to control the situation, then we won't end up in the place we shouldn't be.”
  

Sabtu, 16 Mei 2015

UNTITLED


to watch the trailer video, you can click on a link below



-PROLOG-

Waktu. Hal ini begitu misterius, begitu sulit untuk ditebak, begitu sulit untuk dibayangkan.
Ia melahap habis semua hal secara perlahan, tak ada yang abadi dibawah kekuasaan sang waktu.

Manusia, benda, dunia, bahkan tata surya, semua adalah milik waktu.
Sebagian orang dipercaya memiliki kekuatan menghentikan waktu,
Namun  sang waktu tak pernah benar-benar berhenti.

Ketika membicarakan waktu, maka kita membayangkan 3 bagian utama dari waktu. Masa lalu, masa sekarang, dan masa depan. Walau terpisah, mereka tidak pernah sama sekali berpisah.
Masa sekarangmu bisa saja tak terpaut dengan masa depanmu, namun masa sekarangmu sangat terpaut oleh masa lalumu.

Berbicara tentang masa depan, semua orang begitu penasaran dengan masa depan.
Masa depan memiliki artian waktu yang akan datang.

“bagaimana masa depanku nanti?”

semua orang selalu mempunyai pertanyaan yang sama dibenaknya.
Kebanyakan orang hanya bisa menerka, bergantung pada ikatan takdir yang membelenggu mereka, tanpa tau apa takdir itu sebenarnya.

Takdir adalah mutlak hukumnya. Tak ada seorangpun yang dapat menghindari takdir, walau ada beberapa yang bisa membaca takdir mereka sendiri, mereka tak pernah benar-benar bisa terlepas dari belenggu takdir tersebut.

Takdir sangat erat kaitannya dengan masa depan. Apa yang akan terjadi di masa depan, sangat bergantung akan suratan takdir yang telah ditetapkan sang penguasa.

Setiap makhluk hidup mempunyai batas masing-masing. Tak perduli seberapa hebat dan kuatnya pun mereka, selalu ada sebuah batasan yang menghalangi.

Batasan tersebutlah yang disebut dengan TAKDIR.

-Pria 180cm, berambut hitam lurus itu berjalan tegap ditengah sebuah gurun yang tandus. Sejauh mata memandang, hanya dirinya sendirilah satu-satunya objek bernafas di daerah itu. Langkahnya sempurna, sunyinya daerah itu seirama dengan pergerakan kakinya. Pasir gurun hampir tak terseret oleh kasut coklatnya. Ujung syal coklatnya berkibar elok kebelakang. Separuh wajahnya tertutup oleh syal coklat nan usang tersebut. Ada sesuatu yang mengganjal dari tatapan berkedut di sudut matanya. Sebuah siratan aneh tercipta, sebuah siratan kekhawatiran. Di tengah gurun tersebut berdirilah sebuah bangunan rapuh yang tampaknya sudah berusia ratusan tahun. Pintu-pintu bujur sangkar menandakan bahwa bangunan tersebut dulunya adalah bekas bangunan besar pada peradaban mesir kuno. Pria itu memasuki salah satu celah bujur sangkar itu dan menghampiri sesuatu disana. Suatu pusara usang dan jelas sekali sudah lama tak terjamah. Penuh dengan rangkaian jaring laba-laba dan ada seekor burung gagak hitam yang hinggap diatasnya. Diatas pusara tersebut juga berdiri sebuah salib yang juga tak kalah usang, serta sebuah patung aneh yang terlihat memeluk sang salib. Pria itu menurunkan tubuhnya lalu bersimpuh setengah terduduk didepan pusara tersebut. Ia mengusap pelan batu nisan didepannya, lalu tersingkaplah sebuah kalimat asing. Sorot mata pria itu terlihat tak tenang, ada sebuah siratan kegundahan dalam bola matanya. Ia berdiri, lalu menerawangkan pandangannya, mengawasi burung gagak yang terbang menjauh darinya. Hatinya tak tenang. Sorot matanya menegaskan bahwa ia sedang dalam kondisi yang tidak stabil.-

-Jarum jam tersebut tak berdetak sempurna. Jarum itu terus menerus berdetak maju mundur di angka XII. Pria 185cm tersebut membulatkan matanya, sorot kekhawatiran nampak jelas, sangat sulit untuk disembunyikan. Ia berjalan cepat melintasi padang rumput itu seraya menengadahkan pandangannya keatas, menerawang, mencari sebuah tanda yang terus menghantui pikirannya. Pikirannya membawanya memasuki hutan. Ia tetap mencari tanda itu. Berjam-jam lamanya ia mencari tanda itu namun tak kunjung ditemukannya. Ia memejamkan matanya, dan menyadari bahwa tanda tersebut sudah menghilang, tak akan bisa ditemukannya lagi. Dalam kekesalannya, pohon-pohon disekelilingnya terbakar dalam api panas, seolah menyiratkan bahwa alam pun turut berduka atas peristiwa ini.-

-Pria 180cm itu merasakan memang ada sesuatu yang mengganjal sedari ia membuka matanya pagi itu. Waktu berjalan begitu cepat, seolah terburu-buru untuk mengungkapkan rahasianya. Ia berjalan santai menuju sebuah rumah. Ada dua orang anak laki-laki yang sedang bermain, namun tak tampak seperti bermain. Mereka sedang mengawasi langit. Hawa kedatangan pria itu dalam sekejap membuat seluruh mainan di ruangan itu melayang. Ia mengikuti arah pandangan anak-anak itu, benar saja, waktu berjalan begitu cepat. Matahari dengan cepat dilahap oleh kegelapan, bagai seorang bayi menghabiskan sepotong utuh cookie. Sebuah tanda tak lazim memenuhi langit itu, awan membentuk sebuah tengkorak, lalu dari mulut tengkorak itu keluarlah sebuah asap lurus kehitaman yang berpacu keluar dengan kekuatan penuh. Raut wajah pria itu yang semula santai, mendadak gusar. Dalam kegusarannya, ia berlari keluar. Sorot matanya menyatakan bahwa ia tidak dalam kondisi pikiran yang tenang.-

-Menyadari bahwa hari berlalu lebih cepat dari biasanya, seorang pria 180cm mengedarkan pandangannya dengan cukup heran, lalu bergegas masuk ke sebuah bangunan berbentuk koridor panjang dengan anak-anak tangga sebagai penghubungnya. Ia terus mengedarkan pandangan disetiap langkahnya, memasukkan kedua tangannya kedalam saku jaketnya, menyadari bahwa sesuatu yang mengerikan telah dimulai. Ia tetap melanjutkan langkahnya dengan waspada namun santai sampai akhirnya ia menangkap suatu pergerakan tak lazim dibelakangnya. Ia menoleh dengan sigap, mengedarkan pandangannya, dan berdiri cukup lama untuk memeriksa. Tak ada apa-apa. Ia melanjutkan langkahnya. Tak lama kemudian, earphonenya berhenti melantunkan music. Ia berhenti dan memeriksa jika ada yang salah dengan earphone atau handphonennya. Benar saja, cahaya handphonenya meredup, tak seperti biasanya. Hanya ada pemberitahuan satu pesan masuk saja yang ditampilkan. Bersamaan dengan itu, seluruh lampu di koridor tersebut mati secara berkala. Pria itu berlari, menjauh dari kegelapan yang mengejarnya. Lampu-lampu terus menerus mati secara berkala seiring dengan langkah berlarinya. Ia terjerembab, terhalang oleh suatu gerbang besar. Kegelapan sudah menguasai daerah itu, ia menghela nafasnya. Sesuatu yang mengerikan benar-benar akan terjadi.-

-Gadis itu berjalan anggun dengan mini-dress putihnya, melewati bebatuan besar disampingnya. Tatapannya tenang, ia tampak memandangi pemandangan itu, tanpa mengetahui bahaya yang sedang mengintainya.-



Minggu, 10 Mei 2015

DIE OR WIN [CHAPTER 4 : UNDERGROUND KINGDOM]

kami memulai perjalanan pagi-pagi sekali. 4 orang Divergent dengan 1 orang jangkung berkostumkan ninja kuno ala jepang jaman pertengahan. aneh memang. aku sendiri tetap mengawasi orang bernama Chanyeol itu. Chanyeol orang yang periang. candaannya konyol. tak jarang kami tertawa terbahak-bahak disepanjang jalan. ia berkata bahwa namanya di dunia bawah sana adalah Dodit. nama yang aneh sekali. aku terus mengawasi dirinya, merasa bahwa ada sesuatu yang ganjal terpancar darinya. aku yakin ada sesuatu yang salah. sesuatu yang aneh menyelubungi dirinya. Kris menyerukan bahwa ia telah memikirkan mengganti nama menjadi Jisan dan mengancam akan menendang kami ke angkasa jika kami masih saja memanggilnya dengan Kris.

"mungkin magoi kalian akan terserap sedikit ketika memasuki gerbang bawah tanah, berhubung kalian adalah para penghuni dunia atas; tentunya tak terbiasa dengan udara dunia bawah" celetuknya sore itu ketika kami sedang meminum air dari sumber mata air dikaki gunung.

"magoi?" tanya Kaden penasaran.

"energi yang terbuat dari Rukh." jelasnya singkat.

"Rukh?" tanyaku makin tak mengerti.

"rohmu. atau jiwamu. yang sering berbentuk seperti burung-burung putih kecil. dan magoi itu energy yang dihasilkan oleh rukh mu." jelasnya.

"bisakah kau menjelaskannya lebih jelas lagi?" tanya Jisan.

"setiap orang memiliki kadar rukh yang berbeda-beda. di dunia bawah, manusia terbagi menjadi beberapa aspek. para penyihir, para goi (manusia non-shir), para ninja, dan magi. magi itu penyihir tingkat atas dan kekuatannya benar-benar hebat." jelas Chanyeol.

"dan kau adalah ninja?" tanya Sehun.

"dari beberapa aspek itu, ada lagi yang namanya sub-aspek atau campuran dari berbagai aspek itu. banyak penduduk dunia bawah yang memiliki darah campuran. sangat sedikit yang asli dari berbagai aspek itu. legenda menyebutkan, hanya ada tersisa 4 magi asli."

"sub-aspek?" tanya Kaden.

"ya. kami berbeda dari Zagigs. populasi kami sendiri hanya ada di planet ini. kau salah jika membayangkan bahwa dunia bawah itu gelap dan lembab. justru udaranya lebih bersih dari dunia atas. walaupun matahari kami buatan, itu bukanlah masalah, bentuknya sama seperti matahari asli, hanya saja tidak sepanas itu. ah, kembali ke sub-aspek.. yah contohnya saja, persilangan antara mag-goi, penyihir-goi, magi-ninja, goi-ninja, penyihir-ninja." jelas Chanyeol seraya menangkupkan tangannya pada air lalu membasuh wajahnya.

"dan kau sendiri?" tanyaku.

"ayahku seorang magi. ibuku seorang goi."

"bagaimana bisa kau menjadi ninja?" tanya Jisan.

"sama seperti halnya seseorang yang dilahirkan di Erudite pada akhirnya bisa menjadi seorang Dauntless."

"maksudmu, bakatmu adalah sebagai ninja dan kau menjatuhkan pilihanmu untuk hidup sebagai seorang ninja?"

ia tertawa kecil sebelum menjawab pertanyaan itu. "tidak juga. aku suka sesuatu hal yang baru. pilihanku sangat ditentang oleh ayahku. bakatku? aku berbakat sebagai seorang magi, sebetulnya. awal mengikuti pelatihan ninja, aku sangat payah karena sudah kebiasaan sejak kecil dibantu oleh sihir. aku berada di urutan siswa terlemah kala itu, bahkan hampir dikeluarkan. pengalaman yang buruk." ia merenung. "namun aku bukan orang yang lekas patah semangat. kau tau, tidak ada yang instan di dunia ini. bahkan alat-alat yang bisa membuat pekerjaan kita menjadi instan pun proses membuatnya membutuhkan waktu yang panjang, bukan? aku membayangkan diriku seperti berada di bawah sebuah bangunan besar kala itu. dan gelar ninja adalah atap dari bangunan itu. untuk sampai kesana, aku harus mendaki tangga yang dipenuhi dengan usaha kerja keras dan kesabaran."

"apa kau berhasil sampai ke atap itu?" tanya Sehun.

"tentu saja. 2 tahun aku berlatih dengan keras. aku bahkan hampir kehilangan nyawaku. namun yah, semua terbayar lunas ketika akhirnya aku mendapat gelar ninja dan sekarang menjadi pengawal kerajaan bawah."

kami melanjutkan perjalanan sembari mendengarkan Chanyeol terus bercerita tentang dunia bawah yang penuh pesona itu. hal yang paling kusukai dari ceritanya adalah perihal Dungeon. Dungeon adalah suatu wilayah dimana kau harus mengalahkan monster di wilayah itu dan sebagai hadiahnya, kau bisa mendapatkan Jin dari wilayah itu. Jin itu akan mengabulkan semua permintaanmu dan akan mengikutimu seumur hidupmu.

kami sampai ke sebuah gua di sisi ujung gunung tersebut. gua tua yang rapuh serta menyeramkan. ketika kami masuk, tidak ada jalan. yang ada hanyalah genangan air raksasa memenuhi setiap sisi gua.

"inilah alasan mengapa penghuni dunia atas tidak pernah bisa masuk ke daerah dunia bawah." Chanyeol mengulas sebuah senyuman.

"kalau kalian sudah siap, katakan saja" tambahnya.

"apa maksudmu? tidak ada istilah tidak siap ketika pengalaman sudah didepan mata" seru Jisan.

"baiklah-baiklah." Chanyeol berdeham sedikit lalu menggesekkan kedua telapak tangannya. lalu muncullah sebuah cahaya kilat kemerahan seperti asap gemerlapan. asap itu semakin tebal sehingga memenuhi kami semua. ketika asap itu menghilang, kami sudah berada didalam sebuah balon merah tansparan, tak lama balon kami berguling satu demi satu----yang membuat kepalaku pusing----ke genangan air raksasa itu. kami tenggelam, jauh kedalam dasar air itu. ada sekitar 2 jam kami menelusuri dalamnya air itu hingga akhirnya kami melihat sebuah kota dibawah sana. sebuah kota didalam air. wow... hebat sekali, namun ada sebuah gerbang yang membatasi kami dengan kota itu. Chanyeol menjetikkan jarinya sehingga gerbang itu terbuka, dan apa yang kusadari setelah kami melalui gerbang itu adalah, bahwa kota itu tidak berada di dalam air, namun di sebuah daratan, dengan matahari yang bersinar. tepat setelah kami melewati gerbang itu, balon yang menyelubungi kami pun menghilang, aku sempat berpikir bahwa aku akan tenggelam. namun ternyata tidak. justru kami terhempas di rerumputan lembut seperti kapas. aku menengok kebelakang, berharap menemukan lagi pemandangan gerbang dan air yang kami lewati tadi, tapi ternyata tidak ada. semua itu sudah musnah. yang ada di belakangku hanyalah langit biru cerah, serta hamparan rumput lembut dan ada barisan pohon menandakan tepian hutan di seberang sana. ada burung-burung serta matahari kemerahan yang sangat besar, seolah-olah kau bisa menggapainya dengan sedikit berjinjit.

kami semua terpana dengan apa yang kemudian kami saksikan. awan-awan yang gemuk. ya, kami pikir itu adalah awan. namun kemudian Chanyeol memberitahu bahwa itu adalah biri-biri dan jika kami menyipitkan sedikit mata kami, maka akan tampak samar-samar ada seorang penggembala yang berdiri diatas sebuah permadani, mengawasi biri-birinya. bualan Chanyeol tentang dunia bawah yang terdengar lebih indah dibandingkan dunia atas sungguh bukanlah bualan semata. kini kami melihatnya sendiri. ini benar-benar menakjubkan. dan benar saja, udara disini lebih sejuk dibandingkan diatas sana.

ada sebuah padang rumput yang besar yang memisahkan kami dengan gerbang sebuah kota yang terlihat megah diseberang sana. kota itu terlihat bersih rapi dan memanjakan mata. kota tersebut berada di lereng sebuah gunung. kota tersebut tidak melebar melainkan meninggi keatas. dan tepat di puncaknya, ada sebuah bangunan besar yang kokoh dan royal. aku bertaruh bahwa itulah istananya.

disepanjang jalan menuju ke kota, kami banyak bertemu orang-orang berjubah dan bertopi runcing. aku tau. mereka adalah Penyihir. lalu ada kaum yang memakai gaun jubah panjang dan terlihat anggun, Chanyeol menjelaskan bahwa itu adalah para Magi. dan ada beberapa orang yang berpakaian sama seperti dirinya, yaitu kaum ninja.

sedikit demi sedikit, perlahan demi perlahan, aku mulai terbiasa dengan suasana di dunia bawah ini. aku melihat ada banyak burung-burung putih berterbangan disekeliling orang-orang yang disebut magi. tapi aku diam saja. kupikir itu adalah hal yang biasa dan semua orang bisa melihatnya----kenyataannya aku salah besar. kau akan tahu nanti.

kami melanjutkan perjalanan menuju kota. ternyata padang rumput halus itu berlembah. ujung lembahnya berkelok menuju sebuah sungai jernih yang dipenuhi banyak ikan yang aneh. tampak seperti ikan normal namun dengan ukuran yang luar biasa besarnya. Chanyeol bercerita bahwa ikan-ikan itu adalah pencitraan dari dewa-dewi sungai. Kaden menyapa mereka sembari melemparkan senyum hangat.

kami akhirnya sampai di gerbang kota. para penjaga gerbang pun sangat ramah dan selalu menebar senyum. di zamanku ini, di dunia atas, sudah tidak ada kota-kota yang berpenjaga seperti itu. aku pernah melihat yang seperti ini ketika aku bertualang bersama ayahku ke abad 18. semua orang begitu ramah, begitu murah senyum. hampir semua hal dijalankan oleh sihir.

"Raja adalah seorang magi. ia kehilangan putra sulungnya sewaktu baru dilahirkan" ucap Chanyeol.

"malang sekali." iba Kaden.

"ya, memang. ku taksir umurnya sekarang mungkin sudah seusia kita, karena ibuku waktu itu bekerja di istana sebagai pengurus Ratu, dan saat itu ibu sedang cuti melahirkan aku."

"memangnya diculik oleh siapa?" tanyaku.

"penghuni dunia atas, kata mereka. tapi Raja tak yakin karena sedikit sekali penghuni dunia atas yang mengetahui keberadaan dunia bawah."

"apa anak itu masih hidup?"

"tidak ada yang tahu. tapi Raja adalah seorang magi yang hebat. kabarnya kehebatannya itu diturunkan pada putra sulungnya. seharusnya pangeran-lah yang kelak menggantikan Raja."

"dan sekarang putrinya pun diculik? yang benar saja. seberapa banyak musuh si Raja itu?" tanya Jisan.

"lebih banyak dari burung-burung yang bisa kau lihat di udara. mereka memusuhi Raja karena Raja adalah seorang magi yang hebat dan kuat."

"maksudmu, permusuhan disini terjadi karena iri hati?"

"bisa dibilang begitu, tapi tak sepenuhnya."

"lalu?"

"biar kujelaskan" ucap Chanyeol memulai penjelasan ketika kami menukik belokan pertama menuju jalan diatas. jalanan dikota ini melekuk membelok keatas.

"dunia bawah ini dibagi menjadi dua kerajaan. putih dan gelap. sebenarnya dulu hanya ada satu. namun oleh pertengkaran antara 2 pangeran 1000 tahun yang lalu, maka terpecahlah menjadi dua bagian."

"jangan bilang bahwa salah satu pangeran yang dimaksud adalah sang Raja"

"tepat sekali"

"tua sekali umurnya"

"magi memang begitu."

"begitu bagaimana?"

"ya begitu."

Jisan meneplak kepala Chanyeol membuat ninja itu meringis, lalu tertawa keras.

"maksudku, umur magi memang panjang. apalagi pure magi."

"itu artinya, kau tidak berumur panjang?" tanya Kaden

"tidak. lagipula menyebalkan jika kau memiliki umur panjang sementara orang disekitarmu tidak."

"ya. kehilangan seseorang lebih sakit daripada dihantam sebilah kapak" renung Sehun yang sepertinya memikirkan sesuatu.

kami berhenti disebuah penginapan karena hari disini sudah mulai senja sementara istana masih diatas sana. Chanyeol menawari apakah kami ingin memakai cara instan saja dengan menaiki permadani para magi, namun kami menolak karena berbuat instan seperti itu akan mengurangi kadar pengalaman.

penginapan itu memiliki 3 lantai. lantai pertama adalah ruang makan dan minum, sejenis restoran, lantai kedua dan ketiga berisi kamar-kamar. kami memakan daging kalkun panggang yang sangat besar. Chanyeol dan jisan menghabiskan setengah dari kalkun itu.

kami tidur terpisah malam itu. aku dan Kaden berada di dalam satu kamar, Sehun awalnya disamakan dengan Jisan dan Chanyeol namun akhirnya pindah memesan kamar lain karena tidak tahan dengan ributnya dua orang itu.

aku tidak bisa tidur. terus menerus membayangkan hari-hari yang akan kuhadapi kedepan. betapa indah dan menyenangkannya pengalaman dunia bawah ini. Kaden sudah terlelap. aku bersyukur ia bukan tipe pendengkur seperti Jisan. tak lama aku tertidur.

aku bermimpi aneh. sangat aneh. aku berada di sebuah lorong hitam dengan beberapa lampu remang-remang yang menyala. lorong itu kedepannya sangat gelap. aku menelusuri lorong itu dengan hati-hati. ketika aku sampai ditengah tengah lorong dengan cahaya lampu redup itu, semua cahaya lampu itu satu persatu menghilang, dimulai dari arah belakangku. bersamaan dengan hilangnya cahaya lampu itu, aku mendengar derap kaki yang diiringi dengan sebuah tawa yang tak terdengar bersahabat. aku berlari kedepan, berusaha menjauh dari sosok misterius didalam kegelapan itu. aku sangat panik sehingga kakiku terantuk pada sebuah batu dan aku tersungkur. cahaya lampu yang masih tersisa disekitarku tak jadi padam. suara langkah kaki itu kian datang mendekat, dan akhirnya aku melihatnya. seorang wanita cantik, bergaun sutera merah, namun ada kelicikan terpancar dari sudut matanya.

"selamat datang kembali, Pangeran."

aku terbangun. sinar mentari pagi menyinari mataku, membuatku mengerjap. keringat dingin membasahi pelipisku. sadar, bahwa itu adalah mimpi yang sangat aneh. kamar telah kosong. Kaden tidak ada ditempat tidurnya. semua hampa. aku melihat keluar jendela, kota itu mati. tandus, dan penuh dengan orang-orang berjubah hitam dengan mimik wajah mengerikan. aku turun kebawah, semua berwajah muram dan mengerikan. Jisan, Sehun, Chanyeol. tiba-tiba ada yang menepuk bahuku dari belakang. Kaden. ia tersenyum ramah seperti biasanya dan berkata bahwa semua akan baik-baik saja.

aku terbangun lagi. sadar bahwa kebangunanku tadi merupakan bagian akhir dari mimpi aneh itu. aku mengedarkan pandangan ke sekitar dan bergegas menuju jendela, para pedagang sudah mulai menggelar dagangannya dan para penduduk berwajah ramah berjalan kesana kemari. aku terduduk lega disamping jendela dan menghembuskan nafas kasar.

"kau sudah bangun?" suara Kaden mengejutkanku.

"ah.. iya..." jawabku singkat.

"ada apa denganmu? kau bermimpi buruk?"

"tidak... biasa saja."

"cerita saja jika ada sesuatu yang mengganjal."

"tidak ada. aku bermimpi tentang kita datang ke istana dan disambut dengan berbagai makanan. hahahahaha" aku tertawa renyah yang disambut pandangan bertanya oleh kaden.

"aku akan mandi." jawabku kemudian. aku mengambil handuk lalu melesat cepat ke kamar mandi.

aku terdiam, memandangi diriku di cermin dikamar mandi. ada sesuatu yang aneh dari wajahku. aku tidaklah seperti aku pada hari-hari sebelumnya. aku disini lebih bercahaya dan berkilauan. tapi sepertinya Kaden tadi tidak meyadari hal itu. aku berusaha berpikir positif. semua hal di dunia bawah ini aku yakin ada hubungannya dengan sihir. bukan mustahil jika ini adalah sebuah cermin yang bisa membuatmu terlihat lebih tampan atau sejenisnya. aku bergegas mandi lalu turun kebawah untuk sarapan. semua sudah menunggu. tapi aku mendengar ada sedikit keributan yang dibicarakan.

"sepertinya mereka memang menyusup." ucap Jisan sembari menyuapkan sesendok kentang tumbuk ke mulutnya.

"ada apa? dimana Chanyeol?" tanyaku.

"ah, Baek. dia sedang melakukan patroli keliling kota. kabarnya ada penyusup semalam yang masuk ke kota ini." jelas Jisan.

"ya. penyusup. orang-orang dari kerajaan gelap." tambah Kaden.

"kita akan menunggu sampai ia kembali baru kita melanjutkan perjalanan ke atas." jelas Sehun.

"pangeran telah kembali malam tadi? apa maksudnya. omong kosong." racau sang pemilik penginapan yang kebetulan lewat disamping kami.

aku memicingkan mata ke arahnya. mataku kembali menatap normal ketika ia sudah menjauh. Kaden sedang mengawasiku dengan seksama.

"apa?" tanyaku.

"ada sesuatu yang harus kau jelaskan kepadaku." ucapnya datar.

-TO BE CONTINUED-