Selasa, 15 September 2015

ABDUCTION

Jika kau mengukur kebosanan hidup berdasarkan skala 1-10, maka aku berada di skala 20. Benar sekali, tidak ada yang bisa mengukur kebosanan hidupku didunia ini. Aku hanya selalu merasa---atau berkhayal bahwa sebenarnya aku tidak cocok hidup di dunia ini. Aku adalah sulung dari 3 bersaudara. Orang tuaku benar-benar membuat darahku naik setiap harinya dengan tingkah mereka yang sulit diterima oleh orang normal. Begini, yeah.. aku tidak membenci mereka namun aku bosan hidup dengan mereka. Benar-benar bosan. Aku tidak bisa bebas. Aku selalu diawasi. Keadaan rumah selalu ribut. Aku mempunyai seorang adik perempuan dan laki-laki yang ingin sekali kugantung di pohon willow ditengah padang. Selalu berkelahi dan berebut barang apapun yang bisa mereka berdua rebutkan. Jika sudah begitu, ayahku akan berteriak. Teriakan yang sangat nyaring hingga pernah di suatu malam yang penuh badai petir, ia berteriak pada kedua adikku, hebat sekali hingga suara petir itu teredam oleh suaranya. Tiap hari aku harus bangun jam 4 pagi. Jika tidak, ayahku akan berteriak ditelingaku atau menyiramku dengan air bekas cucian. Aku harus mengepel lantai dan mengangkat karung gandum. Ayahku memiliki usaha olah gandum dan aku harus tersiksa setiap hari. Ibuku tidak kalah membosankan. Tipe wanita yang gemar sekali mengomeli atau mengomentari setiap detail kehidupanku. Aku tau mungkin maksudnya peduli pada anaknya, namun itu membuatku tidak nyaman. Ia terus menerus mengomentari aku, rambutku, nilai pelajaranku atau apapun dari diriku yang merupakan kesalahan dimatanya. Ayah dan ibuku tidak jarang berbicara betapa aku sangat menyusahkan mereka dulu, ketika aku masih bayi. Betapa aku sering sekali menangis. Heran sekali, mengingat betapa tegarnya aku sekarang. Aku hampir tidak pernah menitikkan air mata, seberapa berat dan membosankannya kehidupanku. Mungkin karena aku anak laki-laki, entahlah. Jika aku membuat kesalahan, mereka dengan sangat bersemangat mengatakan betapa menyesalnya mereka meembesarkanku. Jika sudah begitu, memang hatiku sakit, namun aku hanya bisa pergi kekamar, mengunci pintu, menatap langit-langit kamar dan merenungi nasibku. Aku heran mengapa aku lebih bersikap bosan ketimbang benci dengan mereka. Mungkin karena aku sudah kebal diperlakukan seperti ini. Disekolah pun keadaanku tidak berubah, hanya saja tidak ada yang berani menggangguku karena aku tidak suka diganggu. Aku menghabiskan waktuku disekolah dengan tidur, karena aku tidak mendapat cukup tidur dirumah. Aku selesai bekerja di pabrik gandum pukul 12 malam, dan harus bangun jam 4 pagi. Bayangkan saja. Bagaimanapun, satu-satunya hal yang bisa ku banggakan adalah otakku. Aku tidak pernah belajar, namun aku bisa selalu paham materi dengan mudah, tidak perlu memakai penjelasan guru. Dan aku selalu mencapai nilai tertinggi disekolah. Anak-anak kaya yang seharusnya bisa membayar biasa les private atau kursus khusus bahkan kalah olehku. Aku memang seorang anti-sosial. Aku hanya memiliki satu teman. Jaehyun. Diapun tak jauh beda dariku, hanya saja ia hidup sebatang kara. Orangtuanya tak tau dimana. Dia dibesarkan di panti asuhan dan menemukan fakta bahwa dulunya ia ditemukan di tong sampah. Kami menghabiskan waktu dengan berjalan jalan dihutan, tidur diatas pohon, berkelana hingga sore dan yang pasti mengunjungi si tua Bolg. Ia adalah seorang kakek tua yang hidup ditengah hutan. Awalnya ia membuat kami takut dengan janggut panjangnya serta jubah coklat tuanya yang sudah bertambal dimana mana dan dipenuhi bau tikus. Namun lama kelamaan, ia menjadi teman kami, berawal dari tragedi di sungai. Aku bisa mati tenggelam seandainya ia tak menyelamatkanku. Hanya dengan Jaehyun dan Bolg lah aku bisa menampilkan tawa dan senyumku. Sebagian besar wajahku hanya ditampilkan dengan muram, tak bersemangat, seakan tak berjiwa dan selalu menatap orang dengan pandangan malas.

Pagi itu pagi pertama di liburan musim panas. Jarum jam menunjukkan pukul 9 pagi. Aku sudah selesai beraktivitas di pabrik gandum dan ayahku mengizinkan aku pergi dengan geraman serta teriakan keras agar aku kembali sebelum petang. Bagaimanapun mereka memperlakukanku, mereka tidak ingin aku mati, tentu saja. Biaya kematian sangat mahal. Setelah menyiapkan sebotol air yang kusematkan ditas, aku masih harus mendengar omelan ibu tentang betapa lusuhnya rambutku sebelum aku akhirnya bisa dilepas dengan tenang. Aku berjalan dengan terburu-buru. Bolg sudah berjanji akan menunjukkan kami (aku dan Jae) sesuatu yang luar biasa. Entah apa itu. Dia hanya berpesan agar kami memakai sepatu dan membawa ransel. Aku bertemu Jae tepat ditengah hutan. Kami bercerita banyak sembari memakan sandwich yang sudah dipersiapkan Jae. Masing-masing kami benar-benar tidak sabar menanti petualangan.

Bolg tengah merebus sesuatu di ketel diatas perapiannya ketika kami masuk. Rumah Bolg hampir mirip istal kecil namun lebih besar. Atapnya terbuat dari jerami. Ia menawari kami sandwich rusa namun kami menolak dengan berkata sudah makan. Memakan masakan Bolg bukanlah sesuatu yang bisa dibilang bijaksana.

“apa itu, Bolg?” tanyaku mendekatkan diri ke ketelnya. Didalam sana, sebuah benda yang mirip bola kasti berjumlah 3 buah sedang bergemeletuk.

“ini telur unicorn” jawab Bolg dengan seringai riang.

Aku dan Jae mengeryitkan dahi tanda tak mengerti. Bolg mengerti itu
.
“ah, maafkan. Harusnya aku beritau kalian. Unicorn adalah makhluk sucisekaligus makhluk langka yang hidup jauh diujung sana.”

Ketika Bolg mengatakan “diujung sana” aku tau itu mungkin ribuan kilometer. Kami para manusia selama ini hidup hanya disekitar lingkungan kami dan tidak pernah mau tau menau urusan dunia luar. Dan kami tau Bolg tidak seperti manusia pada umumnya. Ia telah menjejaki banyak tana diluar sana. Ia kerap bercerita pada kami. Kami tentu saja ingin sekali mengikuti jejaknya namun ia selalu berkata kami belum siap untuk itu.

“waktu kalian telah tiba” ucapnya tiba-tiba. “aku akan membawa kalian pergi jauh, keluar dari lingkungan aman ini, namun harus kupastikan kalian memang siap. Akan ada banyak sekali kejadian berbahaya diluar sana.” Ucapnya dengan serius. Aku dan Jae mengangguk tanda mengerti.

“keadaan dunia sedang berbahaya. Para elf di timur telah memperingatkan ini sebelumnya. Seorang winged elf bertandang kerumahku semalam”
Aku dan Jae tau apa itu elf. Kami mendapat banyak informasi dari Bolg tentang dunia luar.

“baiklah, kapan kita akan pergi?” ucap Jae bersemangat.

“besok jam 5 pagi kuminta kalian sudah berada disini. Selain itu kita akan berangkat bersama satu orang lagi”

Penjelasan selanjutnya tidak masuk ketelingaku. Aku diam seribu bahasa, memikirkan caranya untuk bisa lepas dari aktivitas rutinku di pabrik gandum. Aku terbangun dari lamunanku ketika Jae menyenggolku dan berkata sebaiknya kami pergi karena hari telah malam. Bolg menawarkan kalkun dingin untuk bekal kami dalam perjalanan pulang.

Jae tidak akan punya masalah dalam keberangkatannya esok hari, tapi tidak denganku. Aku menyantap kalkun itu dan berjalan tanpa suara. Jae terus menerus berbicara dengan penuh semangat, membicarakan betapa serunya petualangan yang akan kami hadapi. Aku meresponnya dengan anggukan-anggukan kecil.

“Jae, apa kau punya ide bagaimana aku bisa melarikan diri besok? Kau tau kan keluargaku bagaimana” ucapku memotong ucapan Jae yang tengah membicarakan betapa indahnya gunung-gunung di utara, sesuai yang pernah diceritakan Bolg.

“eh? Ah benar... kau harus melewati para troll tua itu”

“jae...”

“maaf maaf... baiklah. Emm.. bagaimana ya..”

Aku mendengus pasrah. Tidak satupun ide bisa keluar dari otakku. Ayahku ketat sekali mengenai perbudakan di pabrik gandum dan aku nyaris tak bisa lepas dari itu. Kecuali kalau...........

“Aku akan ada disini jam satu pagi besok” ucapku.
“apa kau yakin? Maksudku, itu terlalu cepat” respon Jae keheranan.

“tidak... aku akan pergi ke Bolg terlebih dahulu.”

“ah tidak tidak, aku juga akan berangkat diwaktu yang sama. Kutemui kau disini jam satu lewat lima belas menit. Bagaimana, bung?”

“deal.”

Aku menghabiskan kalkunku dan kami berpisah di tepi hutan. Rumah Jae ada di lembah pegunungan dipinggiran desa sementara rumahku ada ditengah desa. Aku sampai kerumah tepat pukul 5 sore dan langsung bergerak kemeja makan. Hidangan minum teh sore itu terdiri dari pai buah dan teh chamomile. Pai buah buatan ibu tidak pernah tidak enak. Dan teh chamomile lebih baik daripada teh hijau hambar yang menjadi hidangan minum teh sore kemarin. Sore itu ayah menjelaskan bahwa desa sedang gempar dengan munculnya sosok misterius dari arah pegunungan. Teriakan ayah yang meneriaki kedua adikku tak terdengar karena aku sibuk memikirkan nasibku besok. Bagaimana bisa aku kabur dengan leluasa sedangkan desa tentunya sedang dijaga ketat seperti ini. Ayah tentunya akan dengan ketat mengawasi setiap pergerakan kami. Aku mengurung diri dikamar, sibuk dengan rencanaku dan keluar ketika dipanggil untuk makan malam. Kentang tumbuk, sup daging domba yang dicampur dengan krim susu hangat serta sosis panggang malam itu dengan cepat kuhabiskan. Ayah sedang menggerutu tentang karung gandum yang bocor tadi siang ketika aku ijin untuk tidur lebih awal. Aku menyiapkan berbagai kebutuhanku dengan pelan. Satu saja suara mencurigakan akan membuatku dikurung seharian. Mata ayah sangat jeli dalam melihat kejanggalan-kejanggalan. Entah apa yang akan diteriakkannya ketika tau aku kabur besok. Aku berusaha tidur malam itu tapi tak bisa. Bayangan petualangan yang seru menguasai pikiranku. Aku terbangun tepat ketika jarum jam menunjukkan pukul setengah satu pagi. Ayah terdengar baru saja meninggalkan toilet, berhubung pintu kamarnya baru saja ditutup. Benar saja. Aku telah memperhitungkan ini. Ayah akan terus mengawasi hingga tiba waktunya ia ke toilet dan setelah itu ia akan tidur dan tidak akan bangun hingga ayam berkokok. Aku mengendap endap keluar sepuluh menit kemudian, dengan hoodie abu-abu, celana jeans panjang, sepatu dan ransel di punggung. Arloji hitamku terpasang sempurna di pergelangan tangan kiriku. Aku mengendap tanpa suara, menuruni tangga dan melompat sebelum anak tangga terakhir, karena anak tangga itu berderit. Aku menyelinap ke dapur, mengambil kantong kulit dan mengisinya dengan beberapa gelung chistorra mentah, lima lapis ham dingin, beberapa potong pai buah, dua buah kentang rebus, beberapa apel dan terakhir kumasukkan sisa sup daging domba kedalam wadah berpenutup lalu kumasukkan lagi ke kantong kulit tadi. Aku mengisi tempat airku yang terdiri dari tiga botol, masing-masing berukuran satu liter. Setelah siap semuanya, aku mengecek arlojiku. Masih ada 10 menit tersisa. Aku makan sisa sup daging domba yang masih tersisa di panci, dan makan sebuah kentang rebus. Aku minum banyak-banyak dan ketika tiba waktunya, aku berjingkat menuju jendela didapur, membukanya sedikit, dan berhasil keluar tanpa ada hambatan sedikitpun. Lima menit kemudian aku sudah berada diperjalanan ketepi hutan. Orang-orang banyak berjaga dan butuh kesabaran untuk akhirnya bisa sampai ke tepi hutan. Aku menunggu Jae yang datang 10 menit kemudian. Ia menawariku sandwich burung dara namun aku menolaknya.

“simpan saja. Aku sudah makan” ucapku.

Kami bergerak menuju rumah Bolg dengan santai, membicarakan bagaimana aku bisa kabur dengan berhasil membawa setumpuk makanan lezat.

“kau benar tentang makanan, Byun. Kita akan sangat sangat memerlukan itu. Perjalanan ini akan jauh, kau tau.”

Aku mengangguk senang. Kami tiba di rumah Bolg sekitar pukul empat pagi. Rasanya aku bisa mendengar teriakan ayahku ketika menemukan aku tidak lagi ada ditempat tidurku. Aku tersenyum pelan sembari menunggu Bolg membukakan pintu. Pintu akhirnya terbuka namun bukan Bolg yang kami lihat.

Seorang gadis. Dengan sayap dan telinga mencuat. Ia menggunakan stelan sederhana berwarna hijau muda. Wajahnya berwarna senada dengan pakaiannya namun rambutnya berwarna pirang kemerahan. Wajahnya cantik, berbentuk oval dan memiliki pipi chubby yang standar.

“hai! Namaku Wendy, seorang winged elf. Dan kalian?” ia tersenyum riang. Aku tersenyum sedikit dan mengangguk sopan padanya.

“dimana Bolg?” tanya Jae tanpa basa basi. Ia terlihat tak tertarik pada Wendy dan malah melihat sekeliling, mencari tanda-tanda keberadaan Bolg.

“dia sedang kehutan, mempersiapkan sesuatu. Masuklah” ucap Wendy tersenyum, mempersilahkan kami masuk.

Wendy meenyuguhkan kami teh hitam yang berampas serta rebusan telur burung puyuh. Jae agak mengernyit.

“ini apa?” tanyaku

“oh, minumlah. Kita akan berjalan sangat jauh hari ini. Ini ramuan paling mujarab yang telah diperjuangkan Bolg semalam. Mencari hati belut malam2 bukan soal gampang. Belum lagi dengan sisik buaya dan lendir lintahnya”

Jae menunjukkan wajah mual. Aku terdiam dengan sempurna, tidak bicara apa-apa dan tetap memfokuskan diri pada cairan hitam berampas tersebut. Wendy memaksa kami meminumnya. Butuh waktu lama sampai Jae mau meminumnya.

“kau mau membunuh kami ya? Rasanya seperti kencing kuda.” Teriak Jae.

“oh, kau pernah meminum kencing kuda?” tanya Wendy dengan kepolosan yang sulit diartikan.

Jae terhuyung huyung keluar, ingin memuntahkan minumannya namun dengan cepat dikejar oleh Wendy. Aku bisa mendengar mereka berdebat. Aku sendiri tetap terdiam di tempatku, berusaha tidak muntah. Daripada kencing kuda, kurasa cairan ini lebih seperti gandum busuk yang dijadikan sup dan dicampur dengan daging domba kering. Namun aku langsung bisa merasakan efeknya. Seolah tubuhku dialiri listrik, ada sejumlah energi yang masuk ke setiap sendi tulangku.
Bolg datang tidak lama kemudian. Ia membawa sejumlah dedaunan dan menyuruh kami berkumpul.

“ini matla. Ramuan yang baru kalian minum bernama matla. Itu minuman kekuatan yang akan membuat kita mampu berjalan tanpa lelah selama sehari penuh. Kemudian ini namanya daun conbukey. Yang jika diperas lalu dikunyah, hasil kunyahan daun itu akan menyembuhkan berbagai luka atau cider jika ditempelkan.”

Bolg terus menjelaskan berbagai kegunaan daun dan aku menyimak dengan cermat. Jae masih berusaha untuk tidak memuntahkan isi perutnya dan Wendy sibuk menceramahi Jae bahwa cairan itu akan berguna sekali.

Waktu telah menunjukkan pukul 9 pagi ketika kami akhirnya memulai langkah. Pertama tama dengan melewati padang rumput, kebun sayuran (Jae mencuri beberapa kol), dan Wendy secara ajaib menghilangkan sayapnya. Kami berhenti disebuah sungai kecil dan minum sembari mengisi kembali botol-botol kami dan makan siang. Aku sedang memanggang chistorra diatas api ketika otakku teringat oleh rumah. Aku terkekeh. Ayah pasti sedang kalang kabut.

Kami mencapai tanah landai yang empuk ketika malam tiba, kira-kira pukul sembilan. Reaksi ramuan sudah hilang dan kami begitu letih.

“muddypirple!” seru Bolg ditengah kegelapan.

“kira-kira dia memanggil siapa?” bisik Jae.

“dwarf” bisik Wendy. “mereka makhluk penghuni daerah ini.”

“oh maaf, aku berbisik pada Baekhyun. Benar begitu, Byun?” Jae menyenggolku.

“oh begitu. Yah, tidak perlu begitu. Lagipula kau sudah tau jawabannya.” Sergah Wendy,

“diamlah. Kau itu sok tau sekali.” Bantah Jae yang kini suaranya meninggi.

“aku berbicara karena aku memang tau, tidak sepertimu.” Balas Wendy angkuh.

“oh yea? Taruhan denganku, makhluk lemah sepertimu tidak akan tahan dengan perjalanan ini.” Ejek Jae

“makhluk lemah katamu?” geram Wendy yang jelas sekali nampak tersinggung.

“ssttt” aku memotong mereka, karena sekarang jauh didepan sana ada kilatan cahaya api yang bergerak semakin mendekat kekami.

Ketika akhirnya cahaya itu sampai didekat kami, aku bisa melihatnya dengan jelas. Berjanggut, dengan tinggi tidak lebih dari 120cm, ekspresi wajah liar dengan tatapan garang. Rambutnya seperti sarang burung dara.

“ikuti aku, Bolg.” Ucapnya datar.

Kami mengikutinya hingga ke sebuah pohon besar, sangat besar, lebih besar dari kamarku, dan dibawah pohon itu, tepat di akar-akarnya terdapat sebuah pintu kecil. Kami harus menunduk agar bisa melewati pintu itu. Didalam rumah pohon ini suasananya hangat dan nyaman. Kilatan api yang berkobar di salah satu perapian kecil disudut ruangan serta karpet beludru merah memberi kesan klasik dan damai, serta membuat mengantuk. Kami semua disuguhi teh berwarna merah muda yang wanginya seperti wangi bunga sakura. Rasanya seperti bubur manis.

“nah, Bolg. Kupikir kau sudah tau apa masalahnya” ucap dwarf.

“ya, tentu saja, muddy. Benar-benar harus dituntaskan, kupikir.”

“dan kau pikir aman membawa belatung-belatung kecil ini bersamamu? Beserta si telinga aneh?”

“apa maksudmu belatung?” sela Jae yang kini wajahnya merah padam.

“dan telinga aneh katamu?” sergah Wendy. Mata hijaunya berkilat kilat.

Si dwarf mengerling kearahku, menandakan ia menunggu protes dariku seperti halnya Jae dan Wendy. Tapi aku diam saja.

“yah, Bolg. Kau tau kebanyakan anak dari desa diculik, dan pikirkan apa akibatnya membawa anak-anak ini bersamamu.” Lanjut si Dwarf, mengabaikan pandangan mencela dari Jae dan Wendy.

“maaf, sir... bisakah anda berterus terang saja mengenai apa yang sedang terjadi? Kami...maksudnya aku, ingin tau lebih lanjut” ucapku sopan.

“tak perlu sungkan, Byun. Akupun ingin tau.” Ucap Jae. Matanya belum lepas dari pandangan-mencelanya pada si dwarf.

Bolg berdeham. “baiklah, anak-anak. Banyak anak-anak yang diculik akhir-akhir ini. Dari semua ras, tidak hanya manusia. Dan kami belum tau siapa dalang dibalik semua ini.”

“apa ada tanda-tanda mereka akan kembali?” ucapku. Aku mengerling kearah Jae. Ia tampak gusar. Sebenarnya, adiknya telah diculik darinya setahun yang lalu.

“tidak ada kepastian tentang itu. Harus diselidiki dulu” ucap Bolg sembari memfokuskan matanya pada perapian.

“mari kita selidiki” ucapku mantap.

Krekkkk................ sebuah suara dari luar mengalihkan pandangan kami.


-TO BE CONTINUED-

Tidak ada komentar:

Posting Komentar