Jika kau mengukur kebosanan hidup berdasarkan skala 1-10,
maka aku berada di skala 20. Benar sekali, tidak ada yang bisa mengukur
kebosanan hidupku didunia ini. Aku hanya selalu merasa---atau berkhayal bahwa
sebenarnya aku tidak cocok hidup di dunia ini. Aku adalah sulung dari 3
bersaudara. Orang tuaku benar-benar membuat darahku naik setiap harinya dengan
tingkah mereka yang sulit diterima oleh orang normal. Begini, yeah.. aku tidak
membenci mereka namun aku bosan hidup dengan mereka. Benar-benar bosan. Aku
tidak bisa bebas. Aku selalu diawasi. Keadaan rumah selalu ribut. Aku mempunyai
seorang adik perempuan dan laki-laki yang ingin sekali kugantung di pohon
willow ditengah padang. Selalu berkelahi dan berebut barang apapun yang bisa
mereka berdua rebutkan. Jika sudah begitu, ayahku akan berteriak. Teriakan yang
sangat nyaring hingga pernah di suatu malam yang penuh badai petir, ia
berteriak pada kedua adikku, hebat sekali hingga suara petir itu teredam oleh
suaranya. Tiap hari aku harus bangun jam 4 pagi. Jika tidak, ayahku akan
berteriak ditelingaku atau menyiramku dengan air bekas cucian. Aku harus
mengepel lantai dan mengangkat karung gandum. Ayahku memiliki usaha olah gandum
dan aku harus tersiksa setiap hari. Ibuku tidak kalah membosankan. Tipe wanita
yang gemar sekali mengomeli atau mengomentari setiap detail kehidupanku. Aku
tau mungkin maksudnya peduli pada anaknya, namun itu membuatku tidak nyaman. Ia
terus menerus mengomentari aku, rambutku, nilai pelajaranku atau apapun dari
diriku yang merupakan kesalahan dimatanya. Ayah dan ibuku tidak jarang
berbicara betapa aku sangat menyusahkan mereka dulu, ketika aku masih bayi.
Betapa aku sering sekali menangis. Heran sekali, mengingat betapa tegarnya aku
sekarang. Aku hampir tidak pernah menitikkan air mata, seberapa berat dan
membosankannya kehidupanku. Mungkin karena aku anak laki-laki, entahlah. Jika
aku membuat kesalahan, mereka dengan sangat bersemangat mengatakan betapa
menyesalnya mereka meembesarkanku. Jika sudah begitu, memang hatiku sakit,
namun aku hanya bisa pergi kekamar, mengunci pintu, menatap langit-langit kamar
dan merenungi nasibku. Aku heran mengapa aku lebih bersikap bosan ketimbang
benci dengan mereka. Mungkin karena aku sudah kebal diperlakukan seperti ini.
Disekolah pun keadaanku tidak berubah, hanya saja tidak ada yang berani
menggangguku karena aku tidak suka diganggu. Aku menghabiskan waktuku disekolah
dengan tidur, karena aku tidak mendapat cukup tidur dirumah. Aku selesai
bekerja di pabrik gandum pukul 12 malam, dan harus bangun jam 4 pagi. Bayangkan
saja. Bagaimanapun, satu-satunya hal yang bisa ku banggakan adalah otakku. Aku
tidak pernah belajar, namun aku bisa selalu paham materi dengan mudah, tidak
perlu memakai penjelasan guru. Dan aku selalu mencapai nilai tertinggi
disekolah. Anak-anak kaya yang seharusnya bisa membayar biasa les private atau
kursus khusus bahkan kalah olehku. Aku memang seorang anti-sosial. Aku hanya
memiliki satu teman. Jaehyun. Diapun tak jauh beda dariku, hanya saja ia hidup
sebatang kara. Orangtuanya tak tau dimana. Dia dibesarkan di panti asuhan dan
menemukan fakta bahwa dulunya ia ditemukan di tong sampah. Kami menghabiskan
waktu dengan berjalan jalan dihutan, tidur diatas pohon, berkelana hingga sore
dan yang pasti mengunjungi si tua Bolg. Ia adalah seorang kakek tua yang hidup
ditengah hutan. Awalnya ia membuat kami takut dengan janggut panjangnya serta
jubah coklat tuanya yang sudah bertambal dimana mana dan dipenuhi bau tikus. Namun
lama kelamaan, ia menjadi teman kami, berawal dari tragedi di sungai. Aku bisa
mati tenggelam seandainya ia tak menyelamatkanku. Hanya dengan Jaehyun dan Bolg
lah aku bisa menampilkan tawa dan senyumku. Sebagian besar wajahku hanya
ditampilkan dengan muram, tak bersemangat, seakan tak berjiwa dan selalu
menatap orang dengan pandangan malas.
Pagi itu pagi pertama di liburan musim panas. Jarum jam
menunjukkan pukul 9 pagi. Aku sudah selesai beraktivitas di pabrik gandum dan
ayahku mengizinkan aku pergi dengan geraman serta teriakan keras agar aku
kembali sebelum petang. Bagaimanapun mereka memperlakukanku, mereka tidak ingin
aku mati, tentu saja. Biaya kematian sangat mahal. Setelah menyiapkan sebotol
air yang kusematkan ditas, aku masih harus mendengar omelan ibu tentang betapa
lusuhnya rambutku sebelum aku akhirnya bisa dilepas dengan tenang. Aku berjalan
dengan terburu-buru. Bolg sudah berjanji akan menunjukkan kami (aku dan Jae)
sesuatu yang luar biasa. Entah apa itu. Dia hanya berpesan agar kami memakai
sepatu dan membawa ransel. Aku bertemu Jae tepat ditengah hutan. Kami bercerita
banyak sembari memakan sandwich yang sudah dipersiapkan Jae. Masing-masing kami
benar-benar tidak sabar menanti petualangan.
Bolg tengah merebus sesuatu di ketel diatas perapiannya
ketika kami masuk. Rumah Bolg hampir mirip istal kecil namun lebih besar.
Atapnya terbuat dari jerami. Ia menawari kami sandwich rusa namun kami menolak
dengan berkata sudah makan. Memakan masakan Bolg bukanlah sesuatu yang bisa
dibilang bijaksana.
“apa itu, Bolg?” tanyaku mendekatkan diri ke ketelnya.
Didalam sana, sebuah benda yang mirip bola kasti berjumlah 3 buah sedang
bergemeletuk.
“ini telur unicorn” jawab Bolg dengan seringai riang.
Aku dan Jae mengeryitkan dahi tanda tak mengerti. Bolg mengerti
itu
.
“ah, maafkan. Harusnya aku beritau kalian. Unicorn adalah
makhluk sucisekaligus makhluk langka yang hidup jauh diujung sana.”
Ketika Bolg mengatakan “diujung sana” aku tau itu mungkin
ribuan kilometer. Kami para manusia selama ini hidup hanya disekitar lingkungan
kami dan tidak pernah mau tau menau urusan dunia luar. Dan kami tau Bolg tidak
seperti manusia pada umumnya. Ia telah menjejaki banyak tana diluar sana. Ia
kerap bercerita pada kami. Kami tentu saja ingin sekali mengikuti jejaknya namun
ia selalu berkata kami belum siap untuk itu.
“waktu kalian telah tiba” ucapnya tiba-tiba. “aku akan
membawa kalian pergi jauh, keluar dari lingkungan aman ini, namun harus
kupastikan kalian memang siap. Akan ada banyak sekali kejadian berbahaya diluar
sana.” Ucapnya dengan serius. Aku dan Jae mengangguk tanda mengerti.
“keadaan dunia sedang berbahaya. Para elf di timur telah
memperingatkan ini sebelumnya. Seorang winged elf bertandang kerumahku semalam”
Aku dan Jae tau apa itu elf. Kami mendapat banyak informasi
dari Bolg tentang dunia luar.
“baiklah, kapan kita akan pergi?” ucap Jae bersemangat.
“besok jam 5 pagi kuminta kalian sudah berada disini. Selain
itu kita akan berangkat bersama satu orang lagi”
Penjelasan selanjutnya tidak masuk ketelingaku. Aku diam
seribu bahasa, memikirkan caranya untuk bisa lepas dari aktivitas rutinku di
pabrik gandum. Aku terbangun dari lamunanku ketika Jae menyenggolku dan berkata
sebaiknya kami pergi karena hari telah malam. Bolg menawarkan kalkun dingin
untuk bekal kami dalam perjalanan pulang.
Jae tidak akan punya masalah dalam keberangkatannya esok
hari, tapi tidak denganku. Aku menyantap kalkun itu dan berjalan tanpa suara.
Jae terus menerus berbicara dengan penuh semangat, membicarakan betapa serunya
petualangan yang akan kami hadapi. Aku meresponnya dengan anggukan-anggukan
kecil.
“Jae, apa kau punya ide bagaimana aku bisa melarikan diri
besok? Kau tau kan keluargaku bagaimana” ucapku memotong ucapan Jae yang tengah
membicarakan betapa indahnya gunung-gunung di utara, sesuai yang pernah
diceritakan Bolg.
“eh? Ah benar... kau harus melewati para troll tua itu”
“jae...”
“maaf maaf... baiklah. Emm.. bagaimana ya..”
Aku mendengus pasrah. Tidak satupun ide bisa keluar dari
otakku. Ayahku ketat sekali mengenai perbudakan di pabrik gandum dan aku nyaris
tak bisa lepas dari itu. Kecuali kalau...........
“Aku akan ada disini jam satu pagi besok” ucapku.
“apa kau yakin? Maksudku, itu terlalu cepat” respon Jae
keheranan.
“tidak... aku akan pergi ke Bolg terlebih dahulu.”
“ah tidak tidak, aku juga akan berangkat diwaktu yang sama. Kutemui
kau disini jam satu lewat lima belas menit. Bagaimana, bung?”
“deal.”
Aku menghabiskan kalkunku dan kami berpisah di tepi hutan. Rumah
Jae ada di lembah pegunungan dipinggiran desa sementara rumahku ada ditengah
desa. Aku sampai kerumah tepat pukul 5 sore dan langsung bergerak kemeja makan.
Hidangan minum teh sore itu terdiri dari pai buah dan teh chamomile. Pai buah
buatan ibu tidak pernah tidak enak. Dan teh chamomile lebih baik daripada teh
hijau hambar yang menjadi hidangan minum teh sore kemarin. Sore itu ayah
menjelaskan bahwa desa sedang gempar dengan munculnya sosok misterius dari arah
pegunungan. Teriakan ayah yang meneriaki kedua adikku tak terdengar karena aku
sibuk memikirkan nasibku besok. Bagaimana bisa aku kabur dengan leluasa
sedangkan desa tentunya sedang dijaga ketat seperti ini. Ayah tentunya akan
dengan ketat mengawasi setiap pergerakan kami. Aku mengurung diri dikamar,
sibuk dengan rencanaku dan keluar ketika dipanggil untuk makan malam. Kentang
tumbuk, sup daging domba yang dicampur dengan krim susu hangat serta sosis
panggang malam itu dengan cepat kuhabiskan. Ayah sedang menggerutu tentang
karung gandum yang bocor tadi siang ketika aku ijin untuk tidur lebih awal. Aku
menyiapkan berbagai kebutuhanku dengan pelan. Satu saja suara mencurigakan akan
membuatku dikurung seharian. Mata ayah sangat jeli dalam melihat
kejanggalan-kejanggalan. Entah apa yang akan diteriakkannya ketika tau aku
kabur besok. Aku berusaha tidur malam itu tapi tak bisa. Bayangan petualangan yang
seru menguasai pikiranku. Aku terbangun tepat ketika jarum jam menunjukkan
pukul setengah satu pagi. Ayah terdengar baru saja meninggalkan toilet,
berhubung pintu kamarnya baru saja ditutup. Benar saja. Aku telah
memperhitungkan ini. Ayah akan terus mengawasi hingga tiba waktunya ia ke
toilet dan setelah itu ia akan tidur dan tidak akan bangun hingga ayam
berkokok. Aku mengendap endap keluar sepuluh menit kemudian, dengan hoodie
abu-abu, celana jeans panjang, sepatu dan ransel di punggung. Arloji hitamku
terpasang sempurna di pergelangan tangan kiriku. Aku mengendap tanpa suara,
menuruni tangga dan melompat sebelum anak tangga terakhir, karena anak tangga
itu berderit. Aku menyelinap ke dapur, mengambil kantong kulit dan mengisinya dengan
beberapa gelung chistorra mentah, lima lapis ham dingin, beberapa potong pai
buah, dua buah kentang rebus, beberapa apel dan terakhir kumasukkan sisa sup
daging domba kedalam wadah berpenutup lalu kumasukkan lagi ke kantong kulit
tadi. Aku mengisi tempat airku yang terdiri dari tiga botol, masing-masing
berukuran satu liter. Setelah siap semuanya, aku mengecek arlojiku. Masih ada
10 menit tersisa. Aku makan sisa sup daging domba yang masih tersisa di panci,
dan makan sebuah kentang rebus. Aku minum banyak-banyak dan ketika tiba
waktunya, aku berjingkat menuju jendela didapur, membukanya sedikit, dan
berhasil keluar tanpa ada hambatan sedikitpun. Lima menit kemudian aku sudah
berada diperjalanan ketepi hutan. Orang-orang banyak berjaga dan butuh
kesabaran untuk akhirnya bisa sampai ke tepi hutan. Aku menunggu Jae yang
datang 10 menit kemudian. Ia menawariku sandwich burung dara namun aku
menolaknya.
“simpan saja. Aku sudah makan” ucapku.
Kami bergerak menuju rumah Bolg dengan santai, membicarakan
bagaimana aku bisa kabur dengan berhasil membawa setumpuk makanan lezat.
“kau benar tentang makanan, Byun. Kita akan sangat sangat
memerlukan itu. Perjalanan ini akan jauh, kau tau.”
Aku mengangguk senang. Kami tiba di rumah Bolg sekitar pukul
empat pagi. Rasanya aku bisa mendengar teriakan ayahku ketika menemukan aku
tidak lagi ada ditempat tidurku. Aku tersenyum pelan sembari menunggu Bolg
membukakan pintu. Pintu akhirnya terbuka namun bukan Bolg yang kami lihat.
Seorang gadis. Dengan sayap dan telinga mencuat. Ia menggunakan
stelan sederhana berwarna hijau muda. Wajahnya berwarna senada dengan
pakaiannya namun rambutnya berwarna pirang kemerahan. Wajahnya cantik,
berbentuk oval dan memiliki pipi chubby yang standar.
“hai! Namaku Wendy, seorang winged elf. Dan kalian?” ia
tersenyum riang. Aku tersenyum sedikit dan mengangguk sopan padanya.
“dimana Bolg?” tanya Jae tanpa basa basi. Ia terlihat tak
tertarik pada Wendy dan malah melihat sekeliling, mencari tanda-tanda
keberadaan Bolg.
“dia sedang kehutan, mempersiapkan sesuatu. Masuklah” ucap
Wendy tersenyum, mempersilahkan kami masuk.
Wendy meenyuguhkan kami teh hitam yang berampas serta
rebusan telur burung puyuh. Jae agak mengernyit.
“ini apa?” tanyaku
“oh, minumlah. Kita akan berjalan sangat jauh hari ini. Ini ramuan
paling mujarab yang telah diperjuangkan Bolg semalam. Mencari hati belut malam2
bukan soal gampang. Belum lagi dengan sisik buaya dan lendir lintahnya”
Jae menunjukkan wajah mual. Aku terdiam dengan sempurna,
tidak bicara apa-apa dan tetap memfokuskan diri pada cairan hitam berampas
tersebut. Wendy memaksa kami meminumnya. Butuh waktu lama sampai Jae mau
meminumnya.
“kau mau membunuh kami ya? Rasanya seperti kencing kuda.” Teriak
Jae.
“oh, kau pernah meminum kencing kuda?” tanya Wendy dengan
kepolosan yang sulit diartikan.
Jae terhuyung huyung keluar, ingin memuntahkan minumannya
namun dengan cepat dikejar oleh Wendy. Aku bisa mendengar mereka berdebat. Aku sendiri
tetap terdiam di tempatku, berusaha tidak muntah. Daripada kencing kuda, kurasa
cairan ini lebih seperti gandum busuk yang dijadikan sup dan dicampur dengan
daging domba kering. Namun aku langsung bisa merasakan efeknya. Seolah tubuhku
dialiri listrik, ada sejumlah energi yang masuk ke setiap sendi tulangku.
Bolg datang tidak lama kemudian. Ia membawa sejumlah
dedaunan dan menyuruh kami berkumpul.
“ini matla. Ramuan yang baru kalian minum bernama matla. Itu
minuman kekuatan yang akan membuat kita mampu berjalan tanpa lelah selama
sehari penuh. Kemudian ini namanya daun conbukey. Yang jika diperas lalu
dikunyah, hasil kunyahan daun itu akan menyembuhkan berbagai luka atau cider
jika ditempelkan.”
Bolg terus menjelaskan berbagai kegunaan daun dan aku
menyimak dengan cermat. Jae masih berusaha untuk tidak memuntahkan isi perutnya
dan Wendy sibuk menceramahi Jae bahwa cairan itu akan berguna sekali.
Waktu telah menunjukkan pukul 9 pagi ketika kami akhirnya memulai
langkah. Pertama tama dengan melewati padang rumput, kebun sayuran (Jae mencuri
beberapa kol), dan Wendy secara ajaib menghilangkan sayapnya. Kami berhenti
disebuah sungai kecil dan minum sembari mengisi kembali botol-botol kami dan
makan siang. Aku sedang memanggang chistorra diatas api ketika otakku teringat
oleh rumah. Aku terkekeh. Ayah pasti sedang kalang kabut.
Kami mencapai tanah landai yang empuk ketika malam tiba,
kira-kira pukul sembilan. Reaksi ramuan sudah hilang dan kami begitu letih.
“muddypirple!” seru Bolg ditengah kegelapan.
“kira-kira dia memanggil siapa?” bisik Jae.
“dwarf” bisik Wendy. “mereka makhluk penghuni daerah ini.”
“oh maaf, aku berbisik pada Baekhyun. Benar begitu, Byun?”
Jae menyenggolku.
“oh begitu. Yah, tidak perlu begitu. Lagipula kau sudah tau
jawabannya.” Sergah Wendy,
“diamlah. Kau itu sok tau sekali.” Bantah Jae yang kini
suaranya meninggi.
“aku berbicara karena aku memang tau, tidak sepertimu.” Balas
Wendy angkuh.
“oh yea? Taruhan denganku, makhluk lemah sepertimu tidak
akan tahan dengan perjalanan ini.” Ejek Jae
“makhluk lemah katamu?” geram Wendy yang jelas sekali nampak
tersinggung.
“ssttt” aku memotong mereka, karena sekarang jauh didepan
sana ada kilatan cahaya api yang bergerak semakin mendekat kekami.
Ketika akhirnya cahaya itu sampai didekat kami, aku bisa
melihatnya dengan jelas. Berjanggut, dengan tinggi tidak lebih dari 120cm,
ekspresi wajah liar dengan tatapan garang. Rambutnya seperti sarang burung
dara.
“ikuti aku, Bolg.” Ucapnya datar.
Kami mengikutinya hingga ke sebuah pohon besar, sangat
besar, lebih besar dari kamarku, dan dibawah pohon itu, tepat di akar-akarnya
terdapat sebuah pintu kecil. Kami harus menunduk agar bisa melewati pintu itu. Didalam
rumah pohon ini suasananya hangat dan nyaman. Kilatan api yang berkobar di
salah satu perapian kecil disudut ruangan serta karpet beludru merah memberi
kesan klasik dan damai, serta membuat mengantuk. Kami semua disuguhi teh
berwarna merah muda yang wanginya seperti wangi bunga sakura. Rasanya seperti
bubur manis.
“nah, Bolg. Kupikir kau sudah tau apa masalahnya” ucap
dwarf.
“ya, tentu saja, muddy. Benar-benar harus dituntaskan,
kupikir.”
“dan kau pikir aman membawa belatung-belatung kecil ini
bersamamu? Beserta si telinga aneh?”
“apa maksudmu belatung?” sela Jae yang kini wajahnya merah
padam.
“dan telinga aneh katamu?” sergah Wendy. Mata hijaunya
berkilat kilat.
Si dwarf mengerling kearahku, menandakan ia menunggu protes
dariku seperti halnya Jae dan Wendy. Tapi aku diam saja.
“yah, Bolg. Kau tau kebanyakan anak dari desa diculik, dan
pikirkan apa akibatnya membawa anak-anak ini bersamamu.” Lanjut si Dwarf,
mengabaikan pandangan mencela dari Jae dan Wendy.
“maaf, sir... bisakah anda berterus terang saja mengenai apa
yang sedang terjadi? Kami...maksudnya aku, ingin tau lebih lanjut” ucapku
sopan.
“tak perlu sungkan, Byun. Akupun ingin tau.” Ucap Jae. Matanya
belum lepas dari pandangan-mencelanya pada si dwarf.
Bolg berdeham. “baiklah, anak-anak. Banyak anak-anak yang
diculik akhir-akhir ini. Dari semua ras, tidak hanya manusia. Dan kami belum
tau siapa dalang dibalik semua ini.”
“apa ada tanda-tanda mereka akan kembali?” ucapku. Aku
mengerling kearah Jae. Ia tampak gusar. Sebenarnya, adiknya telah diculik
darinya setahun yang lalu.
“tidak ada kepastian tentang itu. Harus diselidiki dulu”
ucap Bolg sembari memfokuskan matanya pada perapian.
“mari kita selidiki” ucapku mantap.
Krekkkk................ sebuah suara dari luar mengalihkan
pandangan kami.
-TO BE CONTINUED-